Luka di Bulan Ramadhan

malam ini, aku ingin menuliskan sesuatu.... bisa dibilang cerita sedih.

kali ini aku sengaja tidak menulisnya di blog yang satunya lagi. aku tak ingin hanya sekedar menuangkannya saja, tetapi juga berbagi duka ini pada kalian.

karena terlalu berat untuk aku tanggung sendiri.

baiklah, langsung saja aku mulai dari awal perkara.

waktu aku sampai rumah dari Surabaya pukul setengah 2 tadi, aku memang diberitahu Papa kalau gas habis. alhamdulillah aku mendapat honor dari mbak Rani, orang tua Putri. aku memang niatkan untuk memberikan honor pertamaku itu untuk keluarga sepenuhnya. jadi dengan uang itu kami membeli gas.

sorenya, sekitar pukul 15.40, aku mendengar orang rumah ribut tentang gas. sepertinya gasnya bocor. atau ada kendala lain. yang jelas kompor tak mau menyala dan di dapur tercium bau gas. aku baru bangun tidur karena kelelahan. ada tetangga kami yang membantu membetulkan, tapi ternyata tak bisa. lalu orang rumah mulai meributkan sesuatu yang aku tak mengerti ujung-pangkalnya. aku hanya tahu masalah itu dipicu soal gas. adek mulai marah-marah. semua marah-marah. dalam hati aku bergumam, "ini bulan puasa, demi Allah..." tetapi mungkin juga faktor lapar menjadi pemicu marah. semalam, waktu aku menginap di rumah Mbak Novi, aku diberitahu Papa kalau di rumah tak ada apa-apa untuk dimakan. sahur pun dilalui dengan begitu prihatin. aku sedih sekali mendengarnya.

adek dipanggil Papa ke depan untuk dinasihati. ya, tingkahnya akhir-akhir ini kurang ajar. tapi aku maklum. dia pasti tertekan dengan berbagai cobaan yang ada di rumah. dan dia tak punya tempat yang pantas untuk menampung keluh-kesahnya (apa gunaku menjadi seorang kakak ya? aku payah...). lalu tiba-tiba saja dia menghambur ke belakang dengan langkah serabutan dan mengambil minum. aku, seperti biasa, tak berani melihat dan mengetahui kenyataan yang tengah berlangsung itu. aku hanya menyibukkan diri dengan membereskan barang-barang yang ada di sekitarku. lalu terjadilah. Papa marah karena adek meninggalkan Papa yang tengah menasihatinya. adek sendiri merasa dia tak harus mendengarkan keluh-kesah orang lain, karena dia sendiri tertekan. ya, semua tertekan. termasuk aku. maagku sampai kambuh beberapa kali karenanya. semua kucoba kutahan. tapi orang rumah tidak. dan sore ini menjadi momen menumpahkan semua perasaan. aku jadi ingat kejadian tahun lalu (sehari sebelum Hanif datang ke rumah, hanya itu yang bisa kuingat mengenai detil waktunya) saat adek memaki-maki Papa, lalu adek dan Mama keluar rumah. aku ingat aku menangis sejadi-jadinya, sms Sora-chan yang bahkan belum mengenalku sepenuhnya, dan meringkuk di belakang pintu kamar Papa seperti anak autis yang putus asa. tapi kali ini aku hanya bisa duduk di sofa depan, menangis tanpa suara menyaksikan pertengkaran fisik antara Papa dan adek (juga melibatkan tetangga kami sebagai pelerai). aku merasa bodoh. apa gunanya menjadi seorang jujitsan kalau aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah pertengkaran itu? aku merasa malu dan semakin menyalahkan diriku sendiri.

dan seperti yang sudah-sudah, rumah seolah-olah terbagi dalam dua kubu: aku dengan Papa, dan adek dengan Mama. sebenarnya aku tak ingin memihak siapapun, tapi jelas Papa membutuhkan pendamping. itu yang aku pikirkan. lagipula aku tak ingin bersikap ceroboh. kejadian tadi membuatku amat sangat berhati-hati dalam bertindak dan berbicara. karena kalau ada salah kata atau salah sikap, aku hancur. aku memikirkan kuliahku yang di back-up oleh nama dan kerja keras ayahku. aku tak dapat membayangkan kalau seandainya aku dianggap "musuh" (oke, itu bukan perumpamaan yang tepat. tapi aku tak menemukan istilah lain) oleh Papa. bisa-bisa kuliahku di UNAIR tamat sudah.

Papa menasihatiku banyak. juga memintaku agar tidur di kamarnya saja, bukan di kamar tv dengan adek dan Mama seperti biasanya. terus terang, sampai detik ini, aku masih belum paham benar mengapa Papa selalu menyuruhku seperti itu setelah bertengkar hebat. ya, Papa selalu menyuruhku diam di kamarnya kalau habis bertengkar hebat dengan Mama atau adek. aku tak mengerti tujuan yang sebenarnya. aku sendiri tak ingin menerka-nerka. yang jelas, aku trauma. aku yakin maksud Papa baik, tapi menyuruhku tidur di kamarnya, menimbulkan deja vu yang menyakitkan kepala dan hatiku. entah bagaimana menjelaskannya, tapi aku tak suka dipisah dengan Mama dan adek. aku merasa seakan-akan akan berpisah selamanya, setiap kali mengalami deja vu itu. dan itu membuatku menangis lebih perih lagi.

tapi untuk amannya, aku hanya akan menuruti saja kata-kata Papa. aku selalu begitu. tak mengerti kenapa. aku hanya tak ingin menimbulkan masalah lebih panjang lagi.

untuk mengganti suasana, saat adzan Isya' berkumandang, aku ikut Papa ke mbah Ity untuk mengambil kartu askes. di jalan begitu dingin, dan aku hanya memakai pakaian tipis. di Balong Bendo hujan. tambah dingin.... tetapi setelahnya kering lagi. daerah itu memang selalu begitu, seolah daerah itu adalah tempat transit hujan. agak menyebalkan, tapi aku tak ingin menyerapahi apapun. tidak malam ini. aku ingin tenang....

kami hanya sebentar di rumah mbah Ity. kami pulang sebentar ke rumah. sampai di rumah jam setengah 10 malam lebih. lalu kami segera berangkat ke warnet. aku perlu refreshing, dan menuangkan cerita ini ke blog langsung.

aku tak mengerti kehidupan yang dihamparkan di depan mataku ini. tapi aku sudah menyerahkan segalanya pada Allah. biarlah Allah yang melindungiku. dan aku menjalani kehidupan ini dengan performa terbaik yang bisa aku persembahkan.

benar kata seorang centenarian yang tinggal di Loma Linda (aku agak lupa namanya), "Tuhan adalah sahabat yang baik"

(hanya saja, kenapa aku masih belum bisa menjadi "sahabat yang baik" untukNya?)

dengan sebuah luka di bulan yang suci ini, hamba berharap Engkau memberi hamba petunjuk, agar hamba dapat memahami kehidupan yang telah Kau atur untuk hambaMu ini ya Allah...

setiap kejadian pasti ada hikmahnya, ya kan? aku harap aku bisa belajar darinya.

0 komentar:

 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates