hanashitai koto ga takusan aru kedo....


Udah lama juga ya aku ngga posting di blog ini. Tak punya waktu? Ya, itu alasan klasik. Entah mengapa antusiasmeku untuk blogging berkurang. Tapi aku tahu aku harus tetap menghidupkan blog ini. Di sinilah dokumen-dokumen kehidupanku kuabadikan, supaya kelak bisa aku petik hikmahnya. Ah, cerita basi. Hahaha... seperti judulnya, “hanashitai koto ga takusan aru kedo...” ada begitu banyak yang ingin aku ceritakan. Tapi rasanya tidak bisa aku ceritakan secara detil. Tapi baiklah, aku coba menceritakannya sedikit-sedikit.

Yang pertama ingin kuceritakan adalah mengenai penyakit Papa. Memang Papa sudah menahan berbagai macam komplikasi penyakitnya selama bertahun-tahun, tanpa seorang pun yang benar-benar peduli padanya, dan kali ini Papa benar-benar masuk rumah sakit. Aku tak begitu ingat kapan persisnya Papa masuk rumah sakit, yang kuingat itu sebelum aku UAS semester ganjil 2010-2011. Aku ingat itu, karena pada saat aku menerima berita Papa masuk rumah sakit, aku sedang meminjam laptop di rumah Kome, mencoba mengerjakan tugas-tugas akhir semesterku yang menumpuk.  Di tengah kebingunan yang melanda, ditambah berita yang tiba-tiba begini, aku jadi makin panik. Saking paniknya, aku cerita pada Angga via chat FB. Dia, tanpa basa-basi, langsung bilang akan menjemputku dan mengantarku ke Sambisari. Padahal saat itu dia di rumahnya di Waru sana. Dari perbatasan Surabaya-Sidoarjo ke Kenjeran yang ada ujung utara Surabaya lalu ke Sambisari? Gila! Aku speechless. Kaku. Kaku karena dapat berita tentang Papa, speechless karena baru kali ini ada temanku yang benar-benar datang saat aku membutuhkannya. Saat itu Kome tengah tidur kelelahan di kamar orang tuanya (kebetulan para orang tua sedang ke luar kota, jadi hanya ada aku dan Kome di rumah itu). Aku menghampirinya perlahan, ragu mau berbuat apa. Tak tega melihat wajah lelah Kome, aku mundur dan kembali ke kamar Kome tempat aku menaruh barang-barangku. Aku merapikan barang-barang yang kurasa perlu kubawa. Aku ganti baju dan memakai jaket putihku yang tipis. Meski itu di dalam kamar, aku merasa dingin. Tak mengerti apa yang aku pikirkan. Aku hanya cemas, dan ketakutan...
Setelah agak lama menunggu, Angga sms bahwa dia sudah di depan. Masih linglung, akhirnya aku beranikan membangunkan Kome dan berpamitan padanya. Dia menatapku kosong, seolah tak percaya. Tak percaya Papa masuk rumah sakit, juga karena Angga bela-belain menjemputku ke rumahnya dan bersedia mengantarku ke Sambisari. Sama sepertiku, Kome juga bergumam, “Gila tuh anak!” kemudian dia mengantarku sampai ke depan rumahnya dan berpesan agar kami berhati-hati. Aku hanya tersenyum tipis. Kome sungguh-sungguh seperti seorang ibu bagiku.

Aku ingat hari itu. Mendung. Hujan. Angga menepi dan meminjamkanku salah satu jas hujannya. Dia tahu akan hujan dan sudah mengantisipasinya! Aku benar-benar tak tahu harus berkomentar apa. Lamat-lamat aku memakai jas hujan tipis itu. Angga, kelihatannya gemas, memakaikan helmku dan dengan gaya bercandanya, meyakinkan aku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku hanya diam sambil bertanya dalam hati, bisakah aku mempercayai orang ini? Tapi tentu saja kata-kata itu tak keluar dari mulutku. Dengan patuh aku naik ke motor dan kami pergi menerobos hujan.

Aku masih ingat dinginnya kaki-kakiku begitu aku sampai di rumah Budhe Ita di Sambisari. Juga atmosfir yang memualkan itu. Ya, atmosfir yang menuntutku untuk melakukan sesuatu (atau segala sesuatu?). Mbah Ity, dengan mimik serius, menginfokan bahwa keadaan sungguh sulit. Papa membutuhkan banyak biaya, sedangkan kami tak punya cukup uang. Jika Budhe Ita dan Mbah ity bisa mengatakan bahwa mereka tak punya cukup uang, bagaimana denganku? Seingatku uangku waktu itu hampir nol. Ini sungguh-sungguh topik yang tak menyenangkan. Aku memang rada sensitif kalau sudah menyangkut uang.
Seandainya aku bisa bercermin, mungkin aku bisa melihat mataku yang kosong. Sungguh, aku tak mengerti harus bagaimana. Aku pun tak bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat. Lalu, haruskah menelantarkan Papa tanpa perawatan medis....? Tidak! Papa harus tetap mendapatkan perawatan yang layak! Tetapi bagaimana...? Sekali lagi aku menatap lantai dengan mata kosong. Tak terasa perlahan air mataku menetes. Saat itu, yang kurasakan hanyalah perasaan bahwa aku tak berguna. Aku tak dapat menolong siapapun. Bahkan menolong diriku sendiri pun tak bisa. Mbah Ity dan keluarga yang lain memberikan simpati, berkata bahwa aku harus tegar dan fokus pada ujianku. Hah! Aku yakin itu omong kosong! Maksudku, ketika mereka berkata, “Kamu harus fokus pada ujianmu” bisa dipastikan itu artinya “Kamu tidak boleh egois memikirkan ujianmu saja. Coba pikir bagaimana Papamu sekarang” kenapa aku bisa berkata seperti ini? Karena setelah mereka menasihati agar aku fokus, mereka menyebut-nyebut akan membantu Papa dengan cara ini-itu blablabla. Kontradiktif. Aku sungguh-sungguh tak mau dengar! Aku muak! Tetapi, seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa diam. Sambil menangis. Menyedihkan.

Ah, kalau membicarakan hal itu memang tak ada habisnya, ya? Baiklah, biar aku persingkat. Jadi, setelah dua malam di RSUD Sidoarjo tanpa perawatan yang benar-benar layak (perawat yang tidak sigap, malah bercanda saat menangani pasien), Papa kami bawa ke rumah Budhe Ita, ditempatkan di kamar yang dulunya punya mas Ronny. Tetapi tengah malam itu juga, karena Papa terus mengerang kesakitan, akhirnya Papa dirujuk ke RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo di Mojokerto. Begitu mendengar nama itu, aku langsung berprasangka buruk. Bukannya apa-apa, tetapi reputasi rumah sakit itu tidak begitu bagus. Tetapi alhamdulillah kenyataannya tak seperti itu. Papa ditangani dengan baik oleh perawat-perawat muda yang sabar dan sigap. Mengenai biaya operasi, ya... betapa Allah menunjukkan kekuasaanNya. Begitu banyak tangan dari keluarga JJUA, Sastra Jepang, tetangga, dan teman-teman Papa yang lain membantu kami. Akhirnya, Papa berhasil menjalani operasi dengan selamat. Hari Jum’at, entah tanggal berapa (yang jelas saat MUSMA dan aku melewatkan kesempatan untuk tampil sebagai calon Kahima), ketika aku membawa Revo dari Surabaya ke RSUD Mojokerto (tanpa SIM! Gilaaaa!) Papa sudah bersiap untuk pulang. Aku benar-benar bersyukur. Ternyata kasih sayang Allah memang tiada batasnya, bahkan untuk hambaNya yang menyedihkan ini...

Sekarang, Papa sudah bisa di rumah. Memang belum pulih benar dan masih galau karena berbagai macam gangguan di rumah (hampir setiap hari orang datang menagih hutang Mama. Akhirnya Mama pergi dan HP baru Papa hilang. Mama mengambilnya). Perkembangan terakhir yang bisa aku ceritakan adalah: Papa benar-benar terganggu dan kesehatannya rentan sekali. Memang kami sudah meminta bantuan pada teman yang sekiranya mampu membantu kami, tetapi dia masih belum memberikan jawaban. Aku berusaha maklum atas kondisi dan keseharian teman kami itu, tapi Papa nampaknya kurang sabar. Aku mencoba mengerti dan menempatkan diriku pada posisi Papa. Ya, sebuah posisi yang sulit. Kalau aku jadi Papa, aku pun pasti akan galau seperti itu. Aku hanya berharap rencana Allah Yang Maha Sempurna akan berjalan tepat pada momennya.

Baiklah, itu mengenai Papa dan beberapa garis besar tentang masalah keluargaku. Hal kedua (atau ke berapa?) yang ingin kuceritakan adalah tentang aku dan Angga. Ya, akhirnya kami jadian. Mungkin beberapa dari kalian akan bertanya-tanya mengapa aku menulisnya di blog ini dan bukan di blog satunya? Itu bukan karena ingin pamer, tapi memang aku tak ingin terlalu menutup-nutupi hal ini, karena aku bahagia. Yah.. memang bukan sebuah perjalanan yang mudah. Pada awal hubungan kami saja sudah ada berbagai hal ngga jelas yang melintang aral. Masalah datang dari luar kami, dan juga dari diriku sendiri. Aku, yang selalu kikuk dengan diriku sendiri, menimbulkan atmosfir yang tak menyenangkan. Aku menyadari hal itu, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Pikiranku pecah. Aku harus memikirkan keluargaku di rumah, les privat murid-muridku, organisasi, kuliah, dan sebagainya... aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku lebih banyak murung dan menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Aku membuang banyak waktuku yang berharga! Aku juga jadi cemas pada Angga, takut dia bosan menghadapi aku yang bisanya cuma nangis dan murung setiap kali ketemu dia. Akhirnya aku jadi tambah kikuk.

Tetapi, kalau aku boleh bilang, aku orang yang beruntung. Angga bukan orang yang terlalu serius menanggapi sesuatu. Tidak seperti aku yang sophisticated, dia sungguh easy-going. Sementara aku akan berpusing-pusing ria memikirkan detil masalah, dia hanya dengan santai memperlihatkan gambaran global suatu masalah dan memberikan solusi yang paling ringan. Ibarat bermain puzzle, aku adalah orang yang akan mati-matian mencari setiap kecil potongan puzzle itu di manapun ia berada. Sementara ia, akan duduk tenang, tersenyum , lalu akan menunjukkan siluet tentang gambar utuh dari puzzle itu, figur apa yang sesungguhnya akan tersusun dari puzzle-puzzle itu. Ia akan memberitahuku lubang mana saja yang perlu ditambal dengan puzzle dan mencari potongan yang tepat. Sederhana bukan?

Sejauh yang bisa kulihat, sepertinya prinsip hidupnya adalah santai. Bahkan ketika ada masalah yang bagiku sangat-sangat serius, dia malah bisa tetap tenang. Dialah yang menenangkanku dan meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Mungkin dulu aku ragu untuk mempercayainya, tetapi kini.... entahlah. Aku rasa aku bisa mempercayainya. Seumur-umur, baru kali ini aku menemukan sosok yang begitu bersahaja, santai, cenderung menyepelekan masalah,blak-blakan,  tetapi menghormati aku. Terbukti ketika aku marah dan memakinya, dia tidak seperti itu padaku. dia tidak menggunakan kata-kata kasar padaku. Dia terlihat marah, tetapi tetap tenang. Aku kagum sekaligus terheran-heran, apakah benar ada tipikal manusia yang seperti itu? Maksudku, yang ketika marah pun masih bisa bersikap tenang? うそ! Tapi aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Ia orang yang masih bisa bercanda bahkan setelah aku memakinya dengan kasar begitu. Aku tak tahu hatinya terbuat dari apa atau bagaimana otaknya bekerja, tetapi dia kelihatannya tidak tersinggung sama sekali mengenai hal negatif yang orang lain berikan padanya. Juga, dia tetap menghormati aku walau tahu bagaimana keadaanku dan keluargaku.

Aku beruntung mempunyai seseorang sepertinya di sampingku. Dia berbeda dariku, tetapi itu bukan masalah. Justru itulah keuntungannya. Dia bisa tetap tenang ketika aku cemas sehingga dia bisa mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri, menunjukkan aku jalan ketika aku kehilangan arah, membuatku tertawa saat aku murung. Aku sering menciptakan atmosfir buruk dengan membawa masalah-masalahku padanya. Tetapi sejauh ini, tak pernah sekalipun ia begitu. Ia tak menceritakan masalahnya. Ia tidak berusaha mencari belas kasihanku. Ia memberiku banyak hal, tanpa banyak menuntut sesuatu dariku. Ya, memang terlalu dini untuk menilai, tapi sebulan ini aku merasa aman dan nyaman. Aku merasa diterima. Aku memang sempat takut bagaimana kalau nanti ada pamrih yang akhirnya tak bisa aku tanggung? Tapi, malam ini, ketika aku menulis draft posting ini, ia menghapuskan kekhawatiranku. Kesederhanaannya membuatku percaya kalau ia tulus. Dan aku harap memang begitu.  Selamanya begitu...

Nah, bukankah begitu banyak hal yang ingin aku ceritakan? Jujur, sekian ratus kata ini tak cukup bagiku untuk menumpahkan segalanya. Maksudku, apakah ketika membaca cerita yang acak adut ini kalian bisa merasakan kesediihan dan keputusasaanku ketika Papa sakit? Kemurunganku setiap aku menerima berita tak mengenakkan dari rumah? Atau sebaliknya, kebahagiaanku ketika Angga mengajakku bermain ayunan di Taman Bungkul? Spontan membelikanku boneka yang akhirnya kuberi nama Resnu?
ini Resnu, boneka yang dibelikan Angga

Semua tak bisa terungkap begitu saja... ada begitu banyak yang ingin kuceritakan, tetapi kata-kata tak sanggup menampung semuanya. Atau aku memang tak becus bercerita.

Semua, yang terjadi hingga hari ini, hanyalah sebagian kecil dari rencana Allah Yang Maha Sempurna.  Aku sempat takut melangkah menuju hari esok. Tetapi, sedikit pelajaran dan pengalaman yang kudapat ini membuatku cukup percaya diri untuk terus melangkah. Juga dorongan dan semangat dari orang-orang terdekatku, membuatku aku berkata pada diriku sendiri “aku harus maju!” Hingga detik ini, aku masih belum tahu benar apa tujuan hidupku, tetapi aku percaya bahwa hidupku di dunia ini takkan sia-sia.
Begitu banyak yang ingin kuceritakan, namun kata-kata tak sanggup merangkainya. Betapa banyak langkah yang ingin kubuat, dan kecemasan tak bisa menahannya. Ada begitu banyak harapan aku tanam dalam hati, aku yakin mereka akan tumbuh dan berbunga menjadi kenyataan...

Begitu banyak hal yang tak dimengerti manusia. Hanya kepercayaannya terhadap Allah dan rencanaNya lah yang dapat membuat semua itu masuk akal..

0 komentar:

 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates