ngga terasa waktuku di sini tinggal sebentar lagi. ada begitu banyak hal menakjubkan yang aku lewati di sini.
pertama, pertemuan kami dengan anak-anak SUAC. aku merasa bener-bener beruntung bisa bertemu mereka, beberapa minggu sebelum aku berangkat ke Jepang. aku bisa belajar banyak percakapan bahasa Jepang dengan mereka. setidaknya aku ngga terlalu kagok waktu nanti di Hiroshima.
dan bukan cuma itu aja.
kali ini, banyak hal yang membuka mataku tentang budaya Indonesia.
seperti yang pernah aku posting sebelumnya, aku merasa kagum sama anak-anak Pakar Sajen yang menekuni budaya gamelan yang adiluhung ini. dan ternyata, masih ada lagi orang seperti anak-anak Pakar Sajen.
sedikit OOT, aku diminta sama Bu Retno (istrinya Syahrur-sensei, bendahara PPI yang sekarang) untuk menari di acara HIA (ngga tau apa singkatannya. kayaknya sih Hiroshima Indonesian Association). karena itu, akhirnya aku belajar nari.
salah satu anak Pakar Sajen, Andi, ngenalin aku ke Windy. Windy ini anak UKTK, dan sepertinya lagi merintis BSO Tari di FIB UNAIR. aku belajar nari Kasomber sama Windy. menurut Windy sih, Kasomber itu tarian yang gampang. jadi mulai masuk perkuliahan 9 September kemarin, aku latian menari.
meskipun katanya gampang, ternyata ngga segampang yang dibayangin.
jujur, aku merasa susah banget ngikutin gerakan tarian ini. emang sih aku bisa hafal, tapi gerakanku kaku banget. Windy keliatan stres waktu ngajarin aku. aku jadi semakin ciut. malah sebenernya tadi aku sempet kepikiran untuk berhenti aja.
tapi, aku pikir-pikir lagi. emang, menari itu bukan hal yang mudah. ini bukan cuma sekedar gerak badan aja. tubuh, hati, dan pikiran harus selaras. ketika aku melihat video tariannya, aku pikir "oh gitu ya. aku bisa kok". tapi toh karena tubuh dan pikiranku ngga selaras, akhirnya ngga maju-maju. aku pikir aku udah melakukan seperti contoh. tapi ternyata masih kurang dan keliatan ngga indah.
dari situ aku sadar kemampuanku. emang badanku kaku dan umurku juga udah terlalu tua untuk belajar nari yang luwes. tapi, bukan berarti aku harus berhenti di tengah jalan begitu aja. paling ngga aku harus belajar sampai terakhir, sebisa mungkin.
meskipun susah dan bikin stres, tapi aku bersyukur bisa ikut latian nari ini. aku jadi bener-bener tau, menari itu bukan hal gampangan. menari itu sesuatu yang luhur, dan tidak bisa sembarangan dipraktekkin gitu aja.
somehow, aku jadi merasa punya kepercayaan diri sebagai orang Indonesia. menurutku ini progres yang bagus. jadi aku bisa berangkat ke Jepang tanpa harus malu dengan identitasku sebagai orang Indonesia. budaya Indonesia ngga jelek, dan aku bisa cerita ke temen-temen yang ada di sana nantinya.
after all, aku merasa sangaaaaat bersyukur bisa berangkat ke Jepang.
ini bukan cuma sekedar gengsi. bukan cuma sekedar 'beruntung' bisa pergi ke luar negeri (secara gratis).
menurutku, aku luar biasa beruntung, karena dikasih kesempatan untuk mencicipi sedikit petualangan dalam hidupku.
umurku sekarang 22 tahun. mungkin agak terlambat untuk "mbolang" (I expect, the ideal age for adventuring must be 19-20 years old). tapi aku masih terbilang muda untuk melihat dunia di luar sana, dan belajar hidup mandiri di luar "comfortable zone".
bukan cuma itu. aku juga merasa bersyukur, karena dengan keberangkatan ini, aku jadi punya kesempatan untuk belajar sedikit lebih dalam tentang budaya Indonesia. mungkin selama ini dari SD sampai SMA aku belajar banyak teori tentang budaya ini, budaya itu blablabla, tapi itu semua cuma melalui buku aja. dan dengan cara belajar yang seperti itu, aku ngga ngerti di mana letak nilai budaya itu. tapi sekarang, aku belajar langsung. I learn that I need to improve not only skills, but also senses, to get accustomed with these cultures. that's why culture is high-valued, because it is not easy to learn it.
sekali lagi, aku emang ngga bisa menari. tapi aku terus coba untuk belajar. meskipun seandainya sampai terakhir aku tetep ngga bisa menari, tapi paling ngga aku akhirnya ngerti betapa bernilainya suatu budaya milik kita.
skip to main |
skip to sidebar
and at the dawn, armed with the schorching patience, we shall enter the cities of splendour... (Arthur Rimbaud)
Aku Memang Tidak Bisa Menari
Diposting oleh
Djayeng Channissa
on Senin, 16 September 2013
Label:
field of hope,
padang edelweiss,
Pakar Sajen,
SUAC
Labels
padang edelweiss
field of hope
kafe es krim
unair
kamar tidur yang mungil
gubuk kecil yang hangat
Niseikai Aidai
ujian
renungan
sekolah tua
kuliah
jujitsu
asrama
AIESEC
Monbukagakusho
ulang tahun
cerpen
job
ramadhan
resensi
Idul Fitri
Noryouku Shiken
les privat
ospek
skripsi
Kanji Cup
pondok ramadhan
puisi
Benron-taikai
MAWAPRES
MK
Nakayoshi Naito
PKL
dorama
drama
j-pop
kucing
opini
0 komentar:
Posting Komentar