Dunia ini gak adil.
Kira-kira begitulah dialog dalam sinetron,
atau kalimat pembuka sebuah cerpen/novel remaja.
Orang-orang yang hatinya sedang berbahagia,
mungkin cuma ketawa aja.
Sementara orang yang galau kebagian peran
nangis bombay baca kalimat itu.
Berlebihan atau tidak, pertanyaannya cuma satu:
relevankah kalimat itu bagi Anda?
Kalau buatku sendiri, kadang relevan, kadang
juga engga.
Sebulan yang lalu sih gak relevan. Gimana engga,
kerja part time aja bisa ngelunasin semua hutang dan beli hape baru. Belom lagi
punya pacar yang ga ngitung lingkar dada eke. Oke, salah fokus. Maksudnya, baik
hati dan perhatian. Gitu.
Tapi sekarang? Relevan amiiir!!
Pertama, proyek tempat
aku kerja part time udah selesai. Duitnya juga udah abis. Terlepas dari boros
apa engga, yang jelas uang itu berbuah kata “lunas” bagi semua hutangku. Dan
hal-hal lain yang ga perlu disebutkan secara detil. Pamali, gitu.
Pacar saya, yang
secara umur dan pengalaman jauh lebih bijaksana, mutusin aku pas hari lebaran. Berusaha
gak pake sedih sih, kan haram. Tapi, berhubung satu dengan yg lainnya, tetep
aja nangis. Semoga Tuhan mengampuni.
Alesan mutusin? Biyasa.
Itu loh, kata-kata sakti ala anak muda jaman sekarang itu loh. “Kamu terlalu
baik bagiku” ceileh. Gak pernah nyangka kata-kata itu akan sampai padaku. Cuma ya
bedanya diucapin dalam Bahasa Jepang, pake acara bertele-tele pula.
Kemudian, dan
semoga yang terakhir aja sih, aku sekarang jobless. Moneyless, boyfriendless,
jobless. Hua, bisa dijadiin slogan baru itu. Kan, salah fokus lagi.
Alesan jobless? Sederhana.
Kelewat percaya sama janji. Dijanjikan kerja di sebuah perusahaan. Tapi setelah
proyek pertama selesai, ga ada follow up nya. Nunggu sampai nyerah. Akhirnya ya
udah, mari kita lupakan. Eh udah kadung gua dapet proyekan kedua, akhirnya
perusahaan pertama telpon, mau gak jadi pegawai tetap di sana. Tapi ya proyekan
kedua lagi jalan, gak mungkin juga mundur tengah jalan. Mungkin aja sih, tapi
udah kadung akrab (dan kadung jadian pula) sama klien saya. Akhirnya aku tolak
secara halus.
Terus perusahaan kedua (kantornya si akang) juga sering banget
bilang mau gak kerja di situ, minta gaji berapa, dsb. Dijanjiin mau
diberangkatin ke Nippon pula. Tapi ya, keulang lagi. Ga ada follow up nya. Berusaha
untuk lepas dari php-zone, akhirnya aku beraniin diri untuk konfirmasi. Dan…
cabang mereka yang di Jakarta katanya ga butuh interpreter. Pada dasarnya mereka
butuh sarjana teknik. Iyalah, perusahaan mesin. Demikian.
Mungkin sebelum lahir
ke dunia saya emang ditakdirkan kebagian peran korban php -.-
Tapi ya, sebenernya
itu gak bisa jadi alesan sih.
Kalo mau liat dari
sisi positif, positif yang ekstrim tapi, harusnya ya aku gak usah nunggu janji
itu terealisasi. Maju, cari yang lain. Mana yang cepat menerima saya, ya itu
yang dipilih. Harusnya.
Tapi, kalo mau melihat
dari sisi menengah positif, ya gak salah kalo aku nunggu. Kan dijanjiin. Aku juga
udah kasih minat. Tinggal realisasinya aja kan. Ya tapi udahlah, aku gak akan
menuntut apapun atas janji yang gak pernah terealisasi. Duilah, kenapa juga aku
terlalu baik jadi korban php.
Tapi kalo mau liat
dari sisi positif yang sedikit transeden, mungkin emang bukan rejekiku. Perusahaan pertama, di tengah-tengah masa
tunggu, entah kenapa aku jadi kehilangan minat. Aku meragukan passionku bekerja di situ. Does my passion belong to that
company? Haruskan aku kerja di tempat yg gak bisa menumbuhkan passionku? Yah,
okelah masih terlalu dini buat ngomongin hal itu. Belum nyoba kerja juga. Tapi entahlah,
rasanya ada sesuatu yg ga pas.
Perusahaan kedua,
ya jelas-jelas mereka gak butuh interpreter kan. Sudah titik. Gak ada
penjelasan lain.
Mungkin ada
rejeki di tempat lain.
Tapi, gak setiap
hari aku bisa menjaga pikiran positif macam ini.
Buka akun socmed,
liat temen update soal kerjaan, rasanya rada iri gitu. Nonton dorama, tentang
perjuangan anak muda, tentang keluarga, tentang ibu, rasanya hati kayak
dihantam palu. Orang di luar sana berjuang membahagiakan keluarganya, ibunya. Aku ?
masih aja dikirimin duit hasil jerih payah Mama. Setiap kali aku makan keripik
kentang buatan Mama, spesial impor dari Padang sono, rasanya nyesek. Dulu Mama
selalu mengiris kentang tipis-tipis, enak dan renyah. Tapi sekarang, tebelnya
beda-beda. Masih inget aku dulu Mama pake kacamata bekas Papa yang rusak,
gagang sebelahnya patah, dan entah minus nya sama apa engga sama Mama. Gak ada
pilihan lain. Mata Mama udah tua, beli kacamata waktu itu rasanya gak sanggup. Iya,
Mama sudah semakin tua. Temen dan kerabat lain seumuranku udah bisa kasih orang
tuanya penghidupan dan cucu. Aku ? gak dua-duanya. Belum.
Yang paling bikin
aku marah adalah ijazahku. Tertulis, lulus dengan pujian. Piagam yang
menyebutkan aku lulusan terbaik Sastra Jepang periode wisudawan Maret tahun ini
pun aku taruh entah di mana. Gak peduli sudah.
Nilai, IPK, pujian,
mendadak jadi gak ada artinya lagi buatku.
Sertifikat NS
yang aku bangga-banggakan, mendadak jadi sumber malu.
Sebab, harusnya
semua itu bisa menjamin kehidupan yang lebih layak dan stabil buatku. Tapi sekarang ?
Aku pengangguran. Bahan tertawaan orang.
Aku gak pernah
menyangka frustasi pasca lulus akan datang padaku saat ini.
Mungkin itu semua
pertanda kalau aku terlalu sombong. Harusnya ya aku terima saja apa yang ada. Kerja
yang rajin, kumpulin uang buat keluarga di sana. Cari kenalan, menikah dengan
orang baik-baik. Kasih cucu sebelum kedua orang tuaku meninggal.
Semua itu
terhalang oleh rasa gengsi dan over-confidence.
Emang, aku ga
pernah bermaksud memamerkan prestasi. Aku bukan tipe orang yang akan membahas
berapa nilaiku kalau tidak ditanya sama yang berkepentingan. Tapi, menolak suatu tawaran kerja juga salah
satu bentuk over-confidence, kan? Di saat orang susah-susah melamar kerja, aku
malah menolak tawaran. Bodoh loh ya.
Nasi udah jadi bubur. Sekarang
waktunya move on.
Tapi, di saat aku
mencoba lebih realistis, selalu muncul kata-kata dalam pikiranku, “Tunggu dulu.
Mari kita tunggu kesempatan yang lebih baik”
Manis emang. Aku mau
aja nunggu. Cuma ya, sampai kapan? Apa aku harus mengulang kesalahan orang yang cuma duduk menunggu keajaiban? Engga kan? Aku harus menjemput keajaiban itu.
Aku bingung sama
diriku sendiri. Kenapa sih susah sekali untuk jadi lebih berani mengambil
risiko?
Kenapa sih aku
harus jadi pemilih?
Kalau juga selama
ini passion yang selalu aku jadikan alasan untuk memilih pekerjaan, apa benar
aku punya passion? Emangnya hal apa yang ingin aku lakukan?
Kalau udah mikir
gini aku pasti bakal marah-marah sendiri sama diriku. Kata-kata „dunia ini gak
adil“ jadi begitu relevan buatku.
Cuma ya, berdiam
diri di sini juga gak menghasilkan apapun.
Akhirnya aku
berusaha keluar dari kamarku. Itu hal pertama yang harus aku lakukan. Hasilnya,
kemarin aku bertemu dengan Pak Dekan.
Aku disarankan
jadi asisten dosen di sana.
Wacana ini
sebenernya udah ada sejak lama. Sejak aku baru dinyatakan lolos tes seleksi PMDK-UNAIR,
Pak Ari menyarankan agar aku jadi dosen di FIB.
Dosen di Sastra
Jepang juga sudah pernah menanyakan, apakah aku minat mengajar. Aku sudah
berikan jawaban. Tapi ga ada follow up. Di saat seperti ini aku Cuma bisa
bingung. Harusnya aku mengkonfirmasi atau menunggu? Aku minta pendapat dosen
lainnya. Beliau bilang lebih baik menunggu, karena kalau aku yang maju ke sana,
emangnya aku ini siapa.
Dan sekali lagi,
wacana ini muncul. Dan sekarang aku menunggu. Kenapa juga aku gak kapok-kapok
menunggu?
Setiap hari
ketika aku bangun, aku merasa hampa. Harus ya aku menjalani hidup tanpa
aktivitas yang berarti?
Harus ya aku
mengikuti naluri semata?
Entah. Bingung.
Baiklah, aku
harus mengakui kalau aku mengharapkan kepastian dari kampus. Hanya saja kali
ini, aku gak mau cuma berdiam diri.
Jadi, kali ini aku mau
coba apply part time job. Malam
ini juga. Memang, waktu eksekusinya masih lama, masih bulan Oktober. Dan,
memang ada wacana kalau ada kemungkinan proyek dari kantor si akang bakal
dilaksanakan antara Oktober atau November. Ada kemungkinan mereka membutuhkan
interpreter lagi. Tapi ya, aku gak harus selamanya bergantung pada wacana. Aku yang
harus membuat wacana. Aku yang harus mengejar kesempatan itu sendiri.
Aku gak mau
selamanya terjebak dalam peran yang merasa dunia ini gak adil.
Oh ya, ngomongin
soal itu, aku sadar kalau sebenarnya aku punya passion. Aku ingin terlibat
dalam misi membuat dunia jadi lebih baik. Entah itu jadi volunteer, panitia
untuk acara sosial, atau staff organisasi sosial dalam skala internasional.
Cuma, aku kadang
merasa mustahil, kurang kompeten untuk hal-hal semacam itu.
Tapi ya, aku
berharap suatu saat aku punya keberanian dan kesempatan untuk mewujudkan
passion itu.
Semoga.