Nggggrandom

Sekedar posting random aja. Akhir-akhir ini ngga bisa tidur. Bahkan main Pokopang dan Line Bubble beronde-ronde ngga bisa bikin tidur. Mata ngantuk, badan capek, tapi begitu kepala nyentuh bantal malah ngga mau merem. Bahan penelitian dengan segala macam Kanji anehnya itupun juga ngga bisa mengantarku tidur. Entah ini akunya yang udah kelewat parah atau teori "mengerjakan tugas ampuh buat insomnia" udah invalid.

Emang sih aku ngerasa ngga enak badan. Kayak mau pilek tapi toh ngga jadi-jadi (alhamdulillah... Jangan sampai sakit deh). Seperti lemas dan ngga semangat. Padahal makanku banyak bin abnormal. Mungkin karena kebanyakan itu makanya jadi lemes? Bisa jadi. Tapi aku bersyukur sekarang aku bisa mengumpulkan niat untuk mengerjakan tugas dan baca bahan penelitian, tanpa mengandalkan the power of kepepet.

Apa mungkin penyebabnya masalah..... Mental?

Hmm, ya... Akhir-akhir ini emang banyak yang aku pikirkan. Papa sakit, keadaannya belum tambah baik juga. Aku bingung, ngga tau harus gimana.

Selain itu, di sini aku mengalami semacam dilema. Aku sangat bersyukur bisa kuliah di Hiroshima ini. Tempatnya bagus, fasilitas lengkap, dosen-dosennya baik, kuliahnya pun tidak terlalu gila. Aku punya banyak waktu untuk penelitian dan latihan kendo. Oh ya, sejak pertengahan Oktober kemarin aku ikut klub Kendo. Cuma aku satu-satunya yang ngga berpengalaman di sini. Tapi untungnya senpai-senpainya ramah. Mereka bergantian mengajari aku teknik dasar Kendo. Serba cepat, tapi karena kebaikan mereka alhamdulillah aku berangsur-angsur terbiasa. Dan untungnya lagi, aku bukan satu-satunya orang asing di situ. Ada satu orang asing lagi, dari Korea Selatan. Namanya Shin Tae Hun. Waktu kenalan pertama kali aku baru nyadar kalau kita sama-sama level 4. Cuma Shin lebih banyak ambil kelas level 5, jadi kita jarang ketemu. Ketemu paling cuma di kelas hari Rabu dan Kamis.

Beda sama aku, Shin udah pernah latian kendo satu tahun di negaranya. Jadi pada akhirnya cuma akulah satu-satunya yang ngga berpengalaman (。-_-。)

Oke, cerita soal Kendonya kapan-kapan lagi. Balik lagi ke masalah apa yang akhir-akhir ini bikin aku kepikiran.

Seperti yang aku bilang tadi, bisa kuliah di Hiroshima itu bener-bener suatu keberuntungan. Tapi... Aku ngerasa ada yang kurang: persahabatan.

Kalau mau bilang secara jujur, hubungan antar teman sekelas terasa dingin. Gapnya bener-bener kerasa. Di sini mayoritas orang Cina dan Korea. Mereka berkelompok dengan teman-teman senegaranya sendiri. Orang Indonesia juga banyak, tapi kalau aku amati masih mau membaur dengan orang asing lainnya. Orang-orang Eropa sebenernya ramah, tapi ngga gampang masuk grup mereka. Entah kenapa. Orang Amerika pembawaannya santai dan ceria. Salah satu temen Amerika kita, Albert, selalu jadi pemersatu di antara kita semua.

Tapi.... Tetep aja, gapnya masih ada.

Jujur aku rada shock. Aku pikir keadaannya ngga bakal beda jauh sama tempatku dulu di UNAIR, kalau soal pertemanan. Aku pikir kita semua bisa akrab satu sama lain tanpa memandang perbedaan....

Tapi ternyata hal itu ngga gampang ya. Syukurlah aku dikasih liat lebih cepat. Dan dari situ aku bisa berpikir jernih kalau perbedaan semacam ini adalah biasa.

Nah, satu hal yang ngga biasa buatku adalah.... Untuk pertama kalinya aku bener-bener merasa harus waspada dalam berteman.

Seperti yang aku bilang tadi, di sini ada banyak orang Indonesia. Yang sebaya dan satu program sama aku aja ada tiga orang termasuk aku. Awalnya kita bertiga main sama-sama, makan bareng, dan sebagainya...

Sampai suatu hari aku ngerasa ada yang berbeda.

Salah satu dari kita, awalnya suka banget senyum dan ketawa lepas. Tapi sejak menginjakkan kaki di Jepang, entah kenapa dia berubah 180 derajat. Dia jadi jarang senyum, kalau ketawa juga cuma "hmph". Udah gitu kalau ketemu di jalan ngga nyapa lagi.

Yang satunya lagi, nggg, entah gimana jelasinnya. Yang jelas aku jadi ragu harus percaya sama siapa.

Sebulan pertama aku cukup stres dengan keadaan ini. Ngga ada orang yang bisa aku andalin. Ngga ada tempat buat berbagi cerita selepas-lepasnya. Ya aku masih bisa kontak Nene atau Mbak Mega via LINE. Tapi kadang ada perasaan kalau aku berlebihan.

Aku jadi inget, dulu waktu makan bareng Shin, dia tanya, "Kamu punya teman dekat kan?"

Aku cuma bisa menggelengkan kepala.

Yaa mungkin aku su'udzon. Tapi aku berusaha jujur, aku ngga bisa percaya dengan mudah pada orang lain di saat ini, di tempat ini, karena aku belum tau apa-apa. Aku udah merasa kalau diem-diem aku "diinjak", meskipun ngga parah. Ya aku sih ngga akan balas dendam atau gimana. Aku cuma bersikap "cukup tau aja" dan sebisa mungkin ngga banyak berinteraksi dengan orang-orang yang berusaha menginjakku, atau ngga menaruh rasa peduli padaku.

But, afterall, I am fine.

Emang bener ada orang-orang yang ngga ramah sama aku. Tapi toh ada lebih banyak lagi orang yang ramah padaku, dengan baiknya menyambutku, menerimaku, membantuku, mengajariku... Buang-buang waktu dan energi cuma untuk mengurusi hal negatif bener-bener rugi. Hal itu tidak membantuku menyelesaikan penelitianku dan juga tidak membantuku mencapai hal-hal yang aku inginkan.

Ngomong-ngomong, sejak menginjakkan kaki di Negeri Momiji ini, aku jadi pingin belajar banyak hal. Pergi ke banyak tempat. Mengeksplorasi diri sepuas-puasnya.

Tapi, kalau inget keadaan Papa, aku jadi merasa agak......

Yah, Allah juga yang memberi jalan, kan...

Setidaknya, aku pingin menabung dulu. Menabung impian untuk diwujudkan

In Memoriam: Monniza Argha Listiadara

Hari ini aku sendirian di kamar. Cuaca dingin. Aku lagi males ke mana-mana. Jadi aku putusin untuk nyoba ngerjain tugas-tugasku.

Pukul 8.19, Nene telepon aku. Seandainya itu orang lain, aku pasti ngga akan angkat, karena aku ngga mau diganggu. Tapi begitu liat nama Ratu Addina di layar hp, aku langsung sumringah membayangkan percakapan konyol dengannya.

Tapi, begitu aku angkat telepon, suara Nene agak beda.

"Djayeng, lu baca grup Niseikai ngga? Yang LINE"

"Hah? Grup Niseikai..? Gua ngga...."

"Djayeng, gua ga tau ini becanda apa ngga, tapi Didin bilang Bune meninggal?"

"HAH?!"

"Gua ga tau ini becanda atau bukan..."

"Eh, bentar. Maksud lo grup 2009 ta? Gua belon cek LINE dari tadi."

"Iya Dijeh..."

"Bentar, gua coba telpon anak-anak deh"

"Emang bisa?"

"Ya via LINE. Gua coba telpon Alfi"

"Ya deh. Entar lu telpon gua lagi yak"

Aku langsung mutusin telpon, terus cek LINE.

Sebenernya emang ada yang salah sama hpku. Notifikasi LINE, FB, dll ngga muncul otomatis di layar Home. Padahal udah aku setting. Akibatnya aku ngga bisa langsung tau kalau seandainya ada chat masuk. Solusi sementara ya aku harus sering-sering cek LINE.

Begitu aku buka LINE, ada banyak chat masuk, salah satunya dari grup Niseikai 2009.

Didin dkk bilang Bune meninggal.

Aku ngga percaya. Aku panik. Duh, masa iya ini bercanda?

Aku coba telepon Alfi. Sejenak seperti diangkat, tapi aku ngga dengar suara apapun. Akhirnya aku coba telepon Didin. Ngga diangkat. Telepon Firtha, juga ngga diangkat.

Aku chat di grup, "Beneran ta ini?"

Aku tau kedengarannya bego banget. Tapi aku ngga tau harus gimana.

Semua bilang bener.

Di timeline LINE, Pika dkk update status mengucapkan selamat jalan untuk Bune. Begitu juga di FB. Grup Niseikai ramai dengan postingan tentang Bune. Adek kelasku, Ekput, posting berita duka di grup Japanology. Timeline FB penuh dengan status anak-anak Sastra Jepang tentang Bune.

Aku sangat ingin percaya kalau ini semua cuma bercanda.

Biarpun bercandanya keterlaluan, ngga lucu, itu masih lebih baik.

Sayangnya, berita ini sepertinya benar.

Aku nangis. Aku telepon Nene.

"Bebeb....."

"Iya, Dijeh?"

"Katanya beneran...."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun..."

Aku udah ngga bisa mikir jernih lagi. Kenapa, di saat aku ada di sini, salah satu teman dekatku meninggal? Begitu cepat, dan tiba-tiba...

Nene menyarankan aku sholat dan mendoakan Bune.

Tapi. Aku ngga bisa.

Akhirnya aku stuck di depan meja belajar, ngecekin semua akun social mediaku. Berusaha mencari kepastian.

Tapi, semakin aku baca, semakin perih hatiku.

Menurut berita di LINE, Bune kena chikungunya. Aku jadi ingat statusnya

Aku sama sekali ngga kepikiran kalau keluhan sakitnya itu akan jadi berita terakhir tentang dia...

Aku bahkan ngga tau kalau dia kena chikungunya.

Aku berpikir, apa Bune juga tau kalau dia sedang sakit chikungunya? Apa waktu itu, dia tau kalau dia akan..... Pergi?

Dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba aku membayangkan seandainya aku adalah Bune.

Kalau aku tahu kalau waktuku sebentar lagi, mungkin aku akan meminta maaf dan "berpamitan" sebelum pergi.

Atau sebaliknya, aku akan mengurung diri di kamarku. Tanpa perlu orang lain tahu tentang penderitaanku.

Oke, apa yang aku pikirkan itu tidak penting.

Tapi.... Melihat status-statusnya, sepertinya dia ngga tau.

Entahlah.

Tapi, kalau memang benar dia pergi tanpa tahu apapun yang terjadi...

Menurutku itu cara yang indah untuk meninggalkan dunia ini.

Allah pasti sangat sayang padanya, sehingga memberi Bune karunia yang luar biasa indah ini.

Iya, pasti. Pasti Tuhan sangat sayang padanya. Aku yakin. Soalnya Bune sangat sayang pada Mamanya, dan ketiga adik perempuannya.

Aku masih inget bagaimana perjuangannya belajar sambil cari uang. Dia kerja sambilan mengajar les privat bahasa Jepang. Aku inget, sebelum aku berangkat ke Jepang, dia sering minta tolong padaku untuk mengantarkannya ke tempat les privat, untuk mengambil gajinya. Karena tempatnya jauh dan dia ngga punya kendaraan, tidak setiap bulan dia bisa ambil gajinya.

Waktu dia minta tolong padaku, sudah dua bulan dia belum menerima gajinya. Akhirnya dia minta tolong aku untuk nganterin ke sana.

Kemudian, sekitar sebulan dua bulan setelah itu, dia minta tolong padaku lagi. Tapi, berhubung aku lagi berhalangan (aku lupa karena apa, sepertinya karena persiapan untuk berangkat ke Jepang), aku ngga bisa nganterin dia. Aku janji akan nganterin dia lain hari.

Tapi ternyata... Dia jalan kaki sendirian.

Tadinya aku ngga tau, sampai dia sms.

"Cha, leh minta tolong ngga?"

"Aku di kampus. Kenapa, Bun?"

"Aku sekarang di depan rumah orangnya (tempat les privat), tapi kok rumahnya sepi ya..."

"Loh, udah janjian?"

"Udah, Cha. Katanya ketemu jam 10. Tapi ini udah lewat... Ditelepon ngga diangkat. Aduh, gimana ya Cha?"

"Waduh, apa kamu pulang aja? Tak jemput wes ya?"

"Sek wes, Cha... Tunggu sebentar lagi. Be'e orangnya dateng"

"Oke. Tapi kalau 15 menit lagi dia ngga dateng, pulang aja. Kabari aku. Jangan pulang sendirian"

"Oke."

Dan benarlah, orang itu tidak menepati janjinya pada Bune. Malah menyuruh Bune ke rumah pribadinya di daerah Semampir, dekat rumahnya Nene. Ngga mungkin ditempuh jalan kaki. Gila aja.

Akhirnya Bune pulang dengan tangan hampa.

Waktu aku jemput dia di depan rumah lea privat itu, aku merasa sangat.... Yah... Apa yah.. Aku tau gimana susahnya jadi tenaga pengajar les privat. Gajinya kecil, kerjaannya susah. Belum lagi kalau perantaranya ngga bener. Somehow aku merasakan bagaimana sulitnya Bune.

Tapi, aku ngga ngerasa kasihan padanya. Dia ngga pantes dikasihani. Bune udah sangat gigih berjuang. Aku salut.

Masih.... Masih banyak kenangan lagi tentang dia...

Tentang pertengkaran kami soal jus

Tentang "hubungan" palsu kami yang dulu pernah bikin ramai Sastra Jepang

Tentang kekonyolan-kekonyolan waktu jadi panitia di berbagai acara

Tentang "keputusasaan" menghadapi skripsi

Tentang kebahagiaannya waktu dapat kesempatan pergi ke Jepang melalui program Rainbow Ashinaga

Tentang bersin dan muletnya yang lucu, seperti kucing

Tentang senyumnya yang manis

Tentang semuanya....

Aku ngerasa ada yang salah. Bune sedang berjuang keras untuk skripsinya. Dia sedang berusaha mewujudkan cita-citanya untuk bisa ke Jepang lagi. Agar Mamanya bangga.

Lalu, Allah memanggilnya dengan begitu cepat.

Tadinya aku pikir, ini benar-benar tidak adil.

Tapi, setelah aku bisa tenang dan berpikir jernih, kepergian Bune bukanlah sesuatu yang tidak adil.

Aku ingat bagaimana Bune bilang kalau dia pingin ketemu almarhum ayahnya. Ayahnya meninggal saat Bune masih umur 5 tahun.

Aku ngga tau gimana rasanya kehilangan ayah, tapi pasti sedih banget. Apalagi kalau udah ngga ketemu dari kecil.

Dan sekarang, Allah mempertemukan mereka di surga....

Oke, aku sok tau banget. Tapi aku yakin pasti begitu.

Pasti Bune sekarang tersenyum, bertemu ayah yang sangat dirindukannya.

Benar-benar kepergian yang indah....


Bune, aku tau selama ini aku bukan teman yang baik buatmu. Aku tau kadang-kadang aku suka mengabaikan pertanyaan dan permintaanmu kalau aku lagi malas. Maafin aku ya Bune...

Aku masih ingat permintaanmu. Aku pasti belikan kok. Akan aku kirim ke rumahmu. Janji.



Bune, tidak ada lagi yang perlu kamu khawatirkan. Kamu sudah berjuang dengan sangat baik. Sekarang adalah saatnya kamu menikmati buah manisnya. Aku tahu, karena Allah memberimu
kepergian yang sangat indah.

Selamat jalan, Bune... Otsukaresama deshita.

Aku pasti merindukan senyumanmu yang manis itu. Pasti sekarang jauh lebih manis, karena kamu bisa bertemu ayahmu di sana.


Sampai jumpa, Bune....


 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates