Special day


24 Maret 2011, masih ingat siapa yang berulang tahun pada tanggal ini? Yap, memang Hanif berulang tahun. Tapi aku tak ingin membahasnya. Tidak di blog ini. Aku ingin membahas seseorang yang juga berulang tahun hari ini. Dialah Angga, orang yang sangat spesial untukku sehingga bisa membuat tanggal ini menjadi spesial lagi.
Kalau di kampus, hari ini adalah hectic day. Gimana ngga, aku harus ngebut mengerjakan tugas-tugas dan kuis susulan. Belum lagi kondisi badanku yang drop. Semalaman aku ngebut menyiapkan kado, tapi karena ketidakterampilanku, malah jadi hancur berantakan. Aku sungguh menyesal dan putus asa. Heu... batal deh kasih kado ke dia...
Oh ya, malam sebelumnya, Isma sms aku dan mengajakku untuk ikut ngasih kejutan untuknya. Aku bilang kalau Angga tak suka masalah ulang tahunnya diungkit-ungkit. Tapi setelah dipikir-pikir, ya ngga ada salahnya sih ngasih dia kejutan. Jadi, Isma memberitahuku rencananya. Dia akan beli kue dan tugasku adalah mengajak dia ke dojo. Wah, bakal seru nih!
Nah, malam saat hari H, aku memikirkan alasan apa yang tepat supaya dia mau ke dojo. Tiba-tiba aku dapat ide, dan aku langsung sms Isma. Ideku sih, aku dan Isma berpura-pura ada masalah, lalu Isma bakal sms Angga supaya nganterin aku ke dojo karena ada yang mau dibicarakan. Isma setuju, lalu dia langsung sms Angga. Aku di kost menunggu Angga pulang kuliah dan menjemputku. Tapi sialnya, hujan deras turun. Angga sms, apa aku ngga kemaleman kalau tetap pergi. Tapi aku ngotot, karena ngga mungkin aku menyia-nyiakan usaha anak-anak untuk menyiapkan kejutan ini. Lalu aku minta dia segera jemput aku. Sekitar jam 9 kurang, dia datang dengan jas hujan, dan... tanpa sepatu. Dengan tampang melas, dia bilang, “Pinjemin aku sendal donk..” aku ngga tega liatnya. Aku naik lagi dan ambil selop karetku. Entah muat atau tidak, yang penting bisa langsung jalan. Aku sms Isma dan memberitahu kalau kami sudah berangkat.
Sampai di dekat Galaxy Mall, aku sms Isma untuk bersiap-siap. Sialnya, sepertinya smsnya pending. Aku ngga punya pulsa untuk misscall pula. Tetapi begitu hampir sampai pintu gerbang kampus C, Isma membalas kalau dia dan anak-anak sudah siap. Aku langsung mengajak Angga ke dojo. Tapi aku salah strategi. Seharusnya aku biarkan dia yang membuka pintu, bukan aku yang membuka pintu. Akibatnya, begitu anak-anak muncul, dia malah ngga keliatan kaget. Tapi mungkin karena dia sudah ada feeling sebelumnya. Ah, aktingku kurang meyakinkan berarti. Hahaha....
Begitu masuk, Isma, Yanuar, Wita, Dynda, dan Arry menyanyikan “Happy birthday” untuk Angga. Isma menyodorkan kue dengan lilin-lilin menyala. “Make a wish”, katanya. Angga memejamkan mata dan berdoa, entah apa yang ia minta. Lalu, dengan gaya sembrononya, dia meniup semua lilin. Isma sampai terbatuk-batuk. Hahaha... konyol... lalu langsung potong kue. Waktu Angga memotong kuenya, malah hancur. Saat aku yang potong pun tak jauh lebih baik. Sama-sama gak ahli. Hahahaa... saat lagi makan, aku lupa siapa yang memulai, semua main colek-colekan krim. Aku juga ikut mencolek krim ke muka Angga. Tambah lucu kelihatannya. Hahahaha...
tampang ancur Angga setelah disiksa anak-anak XD

ancur... ancur...

Semua berebutan kue. Aku ngga dapet cherry nya Angga memberiku sepotong kue, dan menyuapiku. Tapi, baru juga sampai bibir, dia melumuri mukaku sampai hidungku berkrim. Dasar sial. Hahaha... semua dapet colekan, kecuali Yanuar. Capek main colek-colekan, aku membersihkan mukaku dengan tisu lalu ke kamar mandi.
Keluar kamar mandi, Isma sudah stand by dengan segelas kopi kental di tangannya. Dia menaruh telunjuknya di bibir, lalu menunggu Angga keluar dari kamar mandi. Dari luar, Hafid mengajak Angga ngobrol, sambil mengawasi Angga. Begitu Angga keluar, Isma langsung menumpahkan kopi itu ke kepala Angga. Angga keliahatan pasrah banget. Hahaha... tapi, baru juga ketawa, eh, aku diciprati kopi juga sama Isma, sampai leher, dada, dan bajuku kena kopi semua. Huaaaaa.... ngga ikut ulang tahun, tapi ikut kotor. Gimana sih ini? Tapi seru juga. Hahaha.... akhirnya aku masuk kamar mandi lagi dan membersihkan cipratan kopi di badanku.
Begitu aku dan Angga kembali ke dojo, satu per satu anak-anak pulang. Yah, memang ini sudah malam sih... lalu tinggallah aku dan Angga, berusaha membersihkan sisa-sisa peperangan kue tadi. Tapi tidak bisa bersih semua. Masih ada coklat-coklat yang menempel. Nyerah, akhirnya aku biarkan. Sebelum pulang, Angga membereskan pakaian-pakaian basahnya. Aku berbisik di telinganya, “aku bersyukur kamu lahir di dunia ini...”
Hari ini, Angga genap 21 tahun. Sebentar lagi ulang tahunku, dan itu artinya aku akan berumur 20 tahun! Ha! Tuaaaaaa! Rasanya aku masih pingin berumur sepuluh tahun aja...
Aku jadi penasaran dengan apa yang diminta Angga dalam doanya. Tapi, apapun itu, kalau itu memang baik untuknya, aku doakan supaya terkabul.


Kanji Cup 2011


 5 Maret 2011, Kanji Cup yang ke-9 diselenggarakan bersamaan dengan pameran pendidikan dan seminar di Universitas 17 Agustus Surabaya (Untag). Sastra Jepang UNAIR sendiri mengirimkan cukup banyak pasukan untuk lomba level Shokyuu dan Chukyuu. Untuk level Shokyuu, ada 16 orang yang ikut, dari 1nensei dan 2nensei. 2nensei yang ikut: aku, Nene, Alfi, dan Ghofur. Sementara dari 1nensei ada Ayu, Nandya, Vivi, Imanurriv’al, Yoga, Adi, Alifa, Vina, Rin, Oly (Khalidatul), dan Vita. Dan di level Chukyuu ada mbak Oly (O Lidya), mas Alfian, mbak Tasya, sama seorang senpai berkerudung yang tak seberapa kukenal. Kami inilah yang mewakili Sastra Jepang UNAIR.
Sebelumnya, kami mempunyai sekitar 2 minggu persiapan. Entah bagaimana dengan yang lain, tapi bagiku waktu itu terlalu singkat. Bagiku, persiapan mininal sebulan dua bulan lah. Aku sendiri waktu ditawari sama mbak Fidy untuk ikut lomba ini, sama sekali tidak tahu kapan waktunya dan bagaimana teknis pelaksanaannya. Aku Cuma ingin ikut dan merasakan pengalaman itu. Tetapi begitu kami kumpul dalam satu benkyoukai di bulan Februari, aku kaget waktu Gandhi-sensei bilang Kanji Cup akan diselenggarakan 5 Maret. Lebih kaget lagi karena ternyata kami tidak bekerja secara tim, melainkan individu. Aku speechless. Padahal aku senang karena Alfi dan Nene ikut, karena tadinya kupikir akan bermain secara tim dan kami bisa menjadi tim yang sangat kuat (ya iyalah, ada Alfi si Master Kanji dan Nene si Perfeksionis, gimana ngga kuat?). dan sekarang aku malah harus melawan mereka. Tapi biar bagaimana juga aku tetap (dan harus) maju dan (sempat) bertekad menang.
Balik lagi ke hari H. Jam 7 aku dijemput Angga, sementara aku belum siap. 5-10 menit kemudian aku turun dan kami berangkat mencari sarapan. Di dekat kampus ada yang menjual bubur ayam. Lumayan juga rasanya. Jam setengah 8 kurang, kami berangkat ke Untag. Sampai di sana jam 7.40, padahal registrasi buka jam 8. Haduh... mau ngapain lagi coba? Aku mencoba menghubungi Nene, tapi dia tidak membalas. Akhirnya aku pinjam hp Angga dan menelepon dia. Ternyata dia sudah di dalam! Akhirnya aku masuk ke Graha Widya, tempat Kanji Cup diselenggarakan.
Gedung itu cukup luas, tapi kursinya tidak banyak tersedia. Malah, anak-anak dari Universitas Brawijaya duduk-duduk lesehan di sayap kiri gedung. Merekalah juara tahun lalu. Aku sempat iri pada mereka, karena mereka didukung dengan suporter yang begitu banyak. Begitu pula dengan universitas/SMA yang lainnya. Ada UNESA, menguasai sayap kanan, Unitomo, SMA Lab School, dan sebagainya. UNAIR? Hm... hanya beberapa teman yang datang untuk melihat kami. Sensei-gata juga ada. Ada Santi-sensei dengan anaknya, lalu Adis-sensei, juga Putri-sensei yang membawa anaknya Ayaka-chan <3 pipi Ayaka-chan tembem, aku gemas melihatnya. Tambah gemas lagi waktu Putri-sensei mengelap mulutnya saat makan. Lucunyaa.....
Jam 9.10, acara dimulai dengan pembukaan dari pimpinan Japan Foundation dan pengembalian pialah oleh juara tahun lalu, yaitu Universitas Brawijaya. Suporter UB heboh sekali. Lalu setelah itu, dimulailah Kanji Cup level Shokyuu.
Sebelum pertandingan dimulai, kami semua berkumpul di depan, terbagi secara otomatis di bagian maru dan batsu. Panitia menjelaskan teknis lombanya. Selain ditampilkan di layar, tiap soal juga akan dibacakan dalam bahasa Indonesia oleh panitia. Soal ini bertipe maru-batsu, artinya kurang lebih seperti soal “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”. Bagi yang merasa soal itu benar, harus berdiri di bagian maru, di sebelah kiri panggung yang ada bulatan merah besar. Sedangkan bagi yang merasa soal tersebut salah, berdiri di bagian batsu yang ada tanda silang biru besar di bagian kanan panggung. Setiap soal ada jeda waktu 20 detik untuk menjawab, jadi ketika akan berpindah posisi tidak perlu berlari.
Setelah briefing, diadakan soal contoh. Pada soal contoh disebutkan bahwa onyomi dari kanji adalah /“hi”. Aku, Nene, Rin, dan Vita merasa bahwa soal itu benar, jadi kami tetap berada di bagian maru. Sementara itu, banyak peserta pindah ke bagian batsu. Aku jadi cemas, jangan-jangan mereka benar dan aku salah? Tapi aku tetap pada posisiku. Dan jawabannya... batsu. Ternyata itu kunyomi, sedangkan onyomi nya adalah ニチ. Aku sempat down. Tapi untung ini Cuma contoh.
Lalu muncul soal pertama. Onyomi dari kanji お父さん adalah おとおさん. Sebenarnya aku tidak seberapa melihat soalnya, tapi entah mengapa feelingku mengatakan untuk pindah ke bagian batsu. Aku lihat semua teman-temanku di bagian batsu dan aku menjadi sedikit lega. Begitu jawabannya akan keluar, aku deg-degan setengah mati menatap layar. Dan ternyata jawabannya... batsu! Ini baru soal pertama, tetapi jantungku serasa mau copot.
Soal kedua cukup sulit, karena aku tak tahu itu kanji apa. Soalnya adalah “kanji ini memiliki 7 coretan”. Aku agak panik, karena aku benar-benar tak tahu itu kanji apa. Lalu aku mencoba menghitung coretannya, meski aku tak tahu bagaimana urutan penulisannya. Aku hitung ada 6, jadi aku tetap di bagian batsu. Aku lihat Alfi pindah ke bagian maru. Haruskah aku mengikutinya? Tapi, aku tak melihat coretan lain. Dan 20 detik sudah berlalu. Aku terlanjur di bagian batsu. Sekali lagi aku menatap layar dengan perasaan berdebar-debar.
Jawabannya... batsu!
Aku menggenggam tangan Vina dan berkata, “Habis ini aku pasti nggeblak. Jantungku mau copot!”
Sayang sekali Alfi, yang menjadi tumpuan harapan kami, harus gugur di soal kedua. Aku dan beberapa anak lainnya sempat paranoid waktu melihat Alfi harus kembali ke tempat duduk. Uso... bagaimana ini? Tapi setidaknya kami masih punya banyak anak yang bertahan. Aku sendiri berkeinginan untuk masuk final. Setidaknya jangan sampai aku gugur dengan mudah.
Soal demi soal bergulir. Aku melaluinya karena memang ada beberapa soal yang kumengerti dengan baik, dan juga karena faktor keberuntungan. Pada soal kesepuluh, ada soal yang cukup sulit. Aku lupa kanjinya seperti apa, tapi di soal itu disebutkan bahwa kanji itu dibaca おんど. Aku tak punya gambaran apapun. Akhirnya, mengikuti feeling (dan jejak teman-teman yang lainnya), aku pindah ke bagian batsu. Sementara itu, ada dua orang mahasiswi, entah mahasiswi mana, yang bertahan di bagian maru. Salah seorang dari mereka sempat mau ke bagian batsu, tapi karena waktunya sudah habis, dia harus tetap tinggal di bagian maru. Lalu akhirnya jawabannya keluar, yaitu maru. Aku hampir tidak percaya. Aku... gugur? Di soal kesepuluh? Huaaaaa! Tetapi saat kami akan berbalik badan, panitia meminta kami untuk tetap berada di tempat, sementara dua orang mahasiswi tadi dibawa keluar arena pertandingan. Mereka berdua lolos ke babak final, sementara kami, orang-orang yang ceroboh memilih batsu, mendapat kesempatan untuk merebut dua tempat finalis, karena yang berhak masuk babak final adalah empat orang. Aku jadi semangat lagi dan yakin bisa masuk final.
Begitulah aku, yang merasa cukup percaya diri. Sampai akhirnya tiba di soal kedua belas (kalau tidak salah). Di soal itu muncul kanji yang berarti “pendek”. Pada soal itu, kanji itu ditulis 短い. aku ingat betul kanji itu, aku yakin tidak seperti itu seharusnya ditulis. Dengan langkah pasti aku pindah ke bagian maru. Tadinya Cuma aku sendiri dan aku sempat merasa cemas sekali. Tetapi kemudian Adi, Yoga, Ghofur, mengikutiku juga. Aku begitu yakin dengan jawabanku. Lalu, jawaban muncul di layar. Yang muncul adalah tanda silang besar, batsu. Aku benar-benar tidak percaya. Tetapi, kok bisa? Bukannya seharusnya batsu, karena kanji itu seharusnya ditulis 短かい? sambil tertunduk tak percaya, aku kembali ke tempat dudukku. Di sana ada Nene, Rin, dan Vita yang telah gugur di soal-soal sebelumnya (mereka gugur di soal kanji 気持ち. Sepertinya mereka tidak melihat kanji dan mengira itu ). Rin menunjukkan padaku kanji mijikai dan berkata, “ada dua cara baca, senpai”. Kulihat di Zkanji itu, memang tertulis 短い dan 短かい. tetapi entah kenapa, 短かいdiberi tanda silang merah. Saat kutanya mengapa begitu, Rin pun tidak tahu mengapa. Aku menemui Putri-sensei dan mencoba komplain. Tetapi Putri-sensei hanya berkata, “Begitu ya... nanti kita coba tanya saja pada Tomokiyo-sensei.” Aku kembali duduk manis, ingin mengutuk kanji sialan itu.
Masih ada beberapa 1nensei yang bertahan. Akhirnya, yang lolos ke babak final adalah Vina dan Alifa. Benar-benar membanggakan! Kami berharap besar pada mereka. Mereka melawan mahasiswi UNESA dan Unitomo. Aku tak tahu sejauh mana kemampuan mereka, tapi aku yakin mereka pasti menang. Apalagi Vina kan pintar. Sementara itu, aku, Nene, Alfi, dan Ghofur, sedang bersepakat untuk ikut lagi tahun depan, di level Chukyuu. Dan saat itu, aku harus menang!
Di babak final ini, keempat finalis diuji kemampuan menulisnya. Empat papan tulis telah disiapkan, lalu soal pun dibacakan. Aku sempat kaget menemukan kanji yang sama dengan yang disimulasi, yaitu kanji 土産. Aku salah membacanya sebagai どさん, padahal itu dibaca みやげ. Untung Vina benar, tetapi Alifa salah. Tak apa, pikirku. Salah satu dari mereka akan membawa nama UNAIR kok...
Tetapi, sekali lagi, harapan tinggal harapan. Vina dan Alifa kalah poin. Lalu, mahasiswi UNESA keluar sebagai pemenang. Sempat merasa iri dan kesal juga, tapi ya sudahlah. Masih ada tahun depan kan?
Itulah cerita mengenai pengalamanku bertanding di Kanji Cup. Agak lebay juga ya ternyata? Hahaha.... mau aku ceritakan tentang Kanji Cup level Chukyuu? Hmm... yah, aku ceritakan sedikit ya... mbak Oly dkk berjuang cukup baik di pertandingan itu. Tetapi, lawan mereka sangatlah tangguh. Akhirnya mereka pun tak bisa lolos ke babak final. Sementara itu, aku mengantuk juga lapar, ingin segera pulang. Sebenarnya masih ada babaik final. Tapi aku memutuskan untuk pulang bersama Ghofur. Aku ingin tidur yang nyenyak, mumpung ada waktu untuk istirahat. Jadi, aku mengumpulkan angket yang telah kuisi dan mengembalikan tanda pengenal peserta kepada panitia, dan mendapat map Doraemon si Duta Budaya Animasi serta beberapa notes dan majalah Jepang. Hueee... ureshikatta ne! Tapi aku tetap saja kecewa, karena tidak mendapat sertifikat. Hahahaha....
Begitu pulang, aku langsung ganti baju, solat, lalu tidur. Aku tak mempedulikan sms masuk, ataupun missed call dari Angga dan Papa. Aku benar-benar mengantuk, dan tertidur lelap sambil memeluk Resnu...
Mungkin, itulah lomba pertama yang membuatku bisa tidur nyenyak setelah melakukannya, tak terlalu memusingkan masalah menang atau kalah.

hanashitai koto ga takusan aru kedo....


Udah lama juga ya aku ngga posting di blog ini. Tak punya waktu? Ya, itu alasan klasik. Entah mengapa antusiasmeku untuk blogging berkurang. Tapi aku tahu aku harus tetap menghidupkan blog ini. Di sinilah dokumen-dokumen kehidupanku kuabadikan, supaya kelak bisa aku petik hikmahnya. Ah, cerita basi. Hahaha... seperti judulnya, “hanashitai koto ga takusan aru kedo...” ada begitu banyak yang ingin aku ceritakan. Tapi rasanya tidak bisa aku ceritakan secara detil. Tapi baiklah, aku coba menceritakannya sedikit-sedikit.

Yang pertama ingin kuceritakan adalah mengenai penyakit Papa. Memang Papa sudah menahan berbagai macam komplikasi penyakitnya selama bertahun-tahun, tanpa seorang pun yang benar-benar peduli padanya, dan kali ini Papa benar-benar masuk rumah sakit. Aku tak begitu ingat kapan persisnya Papa masuk rumah sakit, yang kuingat itu sebelum aku UAS semester ganjil 2010-2011. Aku ingat itu, karena pada saat aku menerima berita Papa masuk rumah sakit, aku sedang meminjam laptop di rumah Kome, mencoba mengerjakan tugas-tugas akhir semesterku yang menumpuk.  Di tengah kebingunan yang melanda, ditambah berita yang tiba-tiba begini, aku jadi makin panik. Saking paniknya, aku cerita pada Angga via chat FB. Dia, tanpa basa-basi, langsung bilang akan menjemputku dan mengantarku ke Sambisari. Padahal saat itu dia di rumahnya di Waru sana. Dari perbatasan Surabaya-Sidoarjo ke Kenjeran yang ada ujung utara Surabaya lalu ke Sambisari? Gila! Aku speechless. Kaku. Kaku karena dapat berita tentang Papa, speechless karena baru kali ini ada temanku yang benar-benar datang saat aku membutuhkannya. Saat itu Kome tengah tidur kelelahan di kamar orang tuanya (kebetulan para orang tua sedang ke luar kota, jadi hanya ada aku dan Kome di rumah itu). Aku menghampirinya perlahan, ragu mau berbuat apa. Tak tega melihat wajah lelah Kome, aku mundur dan kembali ke kamar Kome tempat aku menaruh barang-barangku. Aku merapikan barang-barang yang kurasa perlu kubawa. Aku ganti baju dan memakai jaket putihku yang tipis. Meski itu di dalam kamar, aku merasa dingin. Tak mengerti apa yang aku pikirkan. Aku hanya cemas, dan ketakutan...
Setelah agak lama menunggu, Angga sms bahwa dia sudah di depan. Masih linglung, akhirnya aku beranikan membangunkan Kome dan berpamitan padanya. Dia menatapku kosong, seolah tak percaya. Tak percaya Papa masuk rumah sakit, juga karena Angga bela-belain menjemputku ke rumahnya dan bersedia mengantarku ke Sambisari. Sama sepertiku, Kome juga bergumam, “Gila tuh anak!” kemudian dia mengantarku sampai ke depan rumahnya dan berpesan agar kami berhati-hati. Aku hanya tersenyum tipis. Kome sungguh-sungguh seperti seorang ibu bagiku.

Aku ingat hari itu. Mendung. Hujan. Angga menepi dan meminjamkanku salah satu jas hujannya. Dia tahu akan hujan dan sudah mengantisipasinya! Aku benar-benar tak tahu harus berkomentar apa. Lamat-lamat aku memakai jas hujan tipis itu. Angga, kelihatannya gemas, memakaikan helmku dan dengan gaya bercandanya, meyakinkan aku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku hanya diam sambil bertanya dalam hati, bisakah aku mempercayai orang ini? Tapi tentu saja kata-kata itu tak keluar dari mulutku. Dengan patuh aku naik ke motor dan kami pergi menerobos hujan.

Aku masih ingat dinginnya kaki-kakiku begitu aku sampai di rumah Budhe Ita di Sambisari. Juga atmosfir yang memualkan itu. Ya, atmosfir yang menuntutku untuk melakukan sesuatu (atau segala sesuatu?). Mbah Ity, dengan mimik serius, menginfokan bahwa keadaan sungguh sulit. Papa membutuhkan banyak biaya, sedangkan kami tak punya cukup uang. Jika Budhe Ita dan Mbah ity bisa mengatakan bahwa mereka tak punya cukup uang, bagaimana denganku? Seingatku uangku waktu itu hampir nol. Ini sungguh-sungguh topik yang tak menyenangkan. Aku memang rada sensitif kalau sudah menyangkut uang.
Seandainya aku bisa bercermin, mungkin aku bisa melihat mataku yang kosong. Sungguh, aku tak mengerti harus bagaimana. Aku pun tak bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat. Lalu, haruskah menelantarkan Papa tanpa perawatan medis....? Tidak! Papa harus tetap mendapatkan perawatan yang layak! Tetapi bagaimana...? Sekali lagi aku menatap lantai dengan mata kosong. Tak terasa perlahan air mataku menetes. Saat itu, yang kurasakan hanyalah perasaan bahwa aku tak berguna. Aku tak dapat menolong siapapun. Bahkan menolong diriku sendiri pun tak bisa. Mbah Ity dan keluarga yang lain memberikan simpati, berkata bahwa aku harus tegar dan fokus pada ujianku. Hah! Aku yakin itu omong kosong! Maksudku, ketika mereka berkata, “Kamu harus fokus pada ujianmu” bisa dipastikan itu artinya “Kamu tidak boleh egois memikirkan ujianmu saja. Coba pikir bagaimana Papamu sekarang” kenapa aku bisa berkata seperti ini? Karena setelah mereka menasihati agar aku fokus, mereka menyebut-nyebut akan membantu Papa dengan cara ini-itu blablabla. Kontradiktif. Aku sungguh-sungguh tak mau dengar! Aku muak! Tetapi, seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa diam. Sambil menangis. Menyedihkan.

Ah, kalau membicarakan hal itu memang tak ada habisnya, ya? Baiklah, biar aku persingkat. Jadi, setelah dua malam di RSUD Sidoarjo tanpa perawatan yang benar-benar layak (perawat yang tidak sigap, malah bercanda saat menangani pasien), Papa kami bawa ke rumah Budhe Ita, ditempatkan di kamar yang dulunya punya mas Ronny. Tetapi tengah malam itu juga, karena Papa terus mengerang kesakitan, akhirnya Papa dirujuk ke RSUD Dr. Wahidin Sudiro Husodo di Mojokerto. Begitu mendengar nama itu, aku langsung berprasangka buruk. Bukannya apa-apa, tetapi reputasi rumah sakit itu tidak begitu bagus. Tetapi alhamdulillah kenyataannya tak seperti itu. Papa ditangani dengan baik oleh perawat-perawat muda yang sabar dan sigap. Mengenai biaya operasi, ya... betapa Allah menunjukkan kekuasaanNya. Begitu banyak tangan dari keluarga JJUA, Sastra Jepang, tetangga, dan teman-teman Papa yang lain membantu kami. Akhirnya, Papa berhasil menjalani operasi dengan selamat. Hari Jum’at, entah tanggal berapa (yang jelas saat MUSMA dan aku melewatkan kesempatan untuk tampil sebagai calon Kahima), ketika aku membawa Revo dari Surabaya ke RSUD Mojokerto (tanpa SIM! Gilaaaa!) Papa sudah bersiap untuk pulang. Aku benar-benar bersyukur. Ternyata kasih sayang Allah memang tiada batasnya, bahkan untuk hambaNya yang menyedihkan ini...

Sekarang, Papa sudah bisa di rumah. Memang belum pulih benar dan masih galau karena berbagai macam gangguan di rumah (hampir setiap hari orang datang menagih hutang Mama. Akhirnya Mama pergi dan HP baru Papa hilang. Mama mengambilnya). Perkembangan terakhir yang bisa aku ceritakan adalah: Papa benar-benar terganggu dan kesehatannya rentan sekali. Memang kami sudah meminta bantuan pada teman yang sekiranya mampu membantu kami, tetapi dia masih belum memberikan jawaban. Aku berusaha maklum atas kondisi dan keseharian teman kami itu, tapi Papa nampaknya kurang sabar. Aku mencoba mengerti dan menempatkan diriku pada posisi Papa. Ya, sebuah posisi yang sulit. Kalau aku jadi Papa, aku pun pasti akan galau seperti itu. Aku hanya berharap rencana Allah Yang Maha Sempurna akan berjalan tepat pada momennya.

Baiklah, itu mengenai Papa dan beberapa garis besar tentang masalah keluargaku. Hal kedua (atau ke berapa?) yang ingin kuceritakan adalah tentang aku dan Angga. Ya, akhirnya kami jadian. Mungkin beberapa dari kalian akan bertanya-tanya mengapa aku menulisnya di blog ini dan bukan di blog satunya? Itu bukan karena ingin pamer, tapi memang aku tak ingin terlalu menutup-nutupi hal ini, karena aku bahagia. Yah.. memang bukan sebuah perjalanan yang mudah. Pada awal hubungan kami saja sudah ada berbagai hal ngga jelas yang melintang aral. Masalah datang dari luar kami, dan juga dari diriku sendiri. Aku, yang selalu kikuk dengan diriku sendiri, menimbulkan atmosfir yang tak menyenangkan. Aku menyadari hal itu, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Pikiranku pecah. Aku harus memikirkan keluargaku di rumah, les privat murid-muridku, organisasi, kuliah, dan sebagainya... aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku lebih banyak murung dan menghabiskan waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Aku membuang banyak waktuku yang berharga! Aku juga jadi cemas pada Angga, takut dia bosan menghadapi aku yang bisanya cuma nangis dan murung setiap kali ketemu dia. Akhirnya aku jadi tambah kikuk.

Tetapi, kalau aku boleh bilang, aku orang yang beruntung. Angga bukan orang yang terlalu serius menanggapi sesuatu. Tidak seperti aku yang sophisticated, dia sungguh easy-going. Sementara aku akan berpusing-pusing ria memikirkan detil masalah, dia hanya dengan santai memperlihatkan gambaran global suatu masalah dan memberikan solusi yang paling ringan. Ibarat bermain puzzle, aku adalah orang yang akan mati-matian mencari setiap kecil potongan puzzle itu di manapun ia berada. Sementara ia, akan duduk tenang, tersenyum , lalu akan menunjukkan siluet tentang gambar utuh dari puzzle itu, figur apa yang sesungguhnya akan tersusun dari puzzle-puzzle itu. Ia akan memberitahuku lubang mana saja yang perlu ditambal dengan puzzle dan mencari potongan yang tepat. Sederhana bukan?

Sejauh yang bisa kulihat, sepertinya prinsip hidupnya adalah santai. Bahkan ketika ada masalah yang bagiku sangat-sangat serius, dia malah bisa tetap tenang. Dialah yang menenangkanku dan meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Mungkin dulu aku ragu untuk mempercayainya, tetapi kini.... entahlah. Aku rasa aku bisa mempercayainya. Seumur-umur, baru kali ini aku menemukan sosok yang begitu bersahaja, santai, cenderung menyepelekan masalah,blak-blakan,  tetapi menghormati aku. Terbukti ketika aku marah dan memakinya, dia tidak seperti itu padaku. dia tidak menggunakan kata-kata kasar padaku. Dia terlihat marah, tetapi tetap tenang. Aku kagum sekaligus terheran-heran, apakah benar ada tipikal manusia yang seperti itu? Maksudku, yang ketika marah pun masih bisa bersikap tenang? うそ! Tapi aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri. Ia orang yang masih bisa bercanda bahkan setelah aku memakinya dengan kasar begitu. Aku tak tahu hatinya terbuat dari apa atau bagaimana otaknya bekerja, tetapi dia kelihatannya tidak tersinggung sama sekali mengenai hal negatif yang orang lain berikan padanya. Juga, dia tetap menghormati aku walau tahu bagaimana keadaanku dan keluargaku.

Aku beruntung mempunyai seseorang sepertinya di sampingku. Dia berbeda dariku, tetapi itu bukan masalah. Justru itulah keuntungannya. Dia bisa tetap tenang ketika aku cemas sehingga dia bisa mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri, menunjukkan aku jalan ketika aku kehilangan arah, membuatku tertawa saat aku murung. Aku sering menciptakan atmosfir buruk dengan membawa masalah-masalahku padanya. Tetapi sejauh ini, tak pernah sekalipun ia begitu. Ia tak menceritakan masalahnya. Ia tidak berusaha mencari belas kasihanku. Ia memberiku banyak hal, tanpa banyak menuntut sesuatu dariku. Ya, memang terlalu dini untuk menilai, tapi sebulan ini aku merasa aman dan nyaman. Aku merasa diterima. Aku memang sempat takut bagaimana kalau nanti ada pamrih yang akhirnya tak bisa aku tanggung? Tapi, malam ini, ketika aku menulis draft posting ini, ia menghapuskan kekhawatiranku. Kesederhanaannya membuatku percaya kalau ia tulus. Dan aku harap memang begitu.  Selamanya begitu...

Nah, bukankah begitu banyak hal yang ingin aku ceritakan? Jujur, sekian ratus kata ini tak cukup bagiku untuk menumpahkan segalanya. Maksudku, apakah ketika membaca cerita yang acak adut ini kalian bisa merasakan kesediihan dan keputusasaanku ketika Papa sakit? Kemurunganku setiap aku menerima berita tak mengenakkan dari rumah? Atau sebaliknya, kebahagiaanku ketika Angga mengajakku bermain ayunan di Taman Bungkul? Spontan membelikanku boneka yang akhirnya kuberi nama Resnu?
ini Resnu, boneka yang dibelikan Angga

Semua tak bisa terungkap begitu saja... ada begitu banyak yang ingin kuceritakan, tetapi kata-kata tak sanggup menampung semuanya. Atau aku memang tak becus bercerita.

Semua, yang terjadi hingga hari ini, hanyalah sebagian kecil dari rencana Allah Yang Maha Sempurna.  Aku sempat takut melangkah menuju hari esok. Tetapi, sedikit pelajaran dan pengalaman yang kudapat ini membuatku cukup percaya diri untuk terus melangkah. Juga dorongan dan semangat dari orang-orang terdekatku, membuatku aku berkata pada diriku sendiri “aku harus maju!” Hingga detik ini, aku masih belum tahu benar apa tujuan hidupku, tetapi aku percaya bahwa hidupku di dunia ini takkan sia-sia.
Begitu banyak yang ingin kuceritakan, namun kata-kata tak sanggup merangkainya. Betapa banyak langkah yang ingin kubuat, dan kecemasan tak bisa menahannya. Ada begitu banyak harapan aku tanam dalam hati, aku yakin mereka akan tumbuh dan berbunga menjadi kenyataan...

Begitu banyak hal yang tak dimengerti manusia. Hanya kepercayaannya terhadap Allah dan rencanaNya lah yang dapat membuat semua itu masuk akal..
 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates