Dunia Ini Gak Adil

Dunia ini gak adil.

Kira-kira begitulah dialog dalam sinetron, atau kalimat pembuka sebuah cerpen/novel remaja.

Orang-orang yang hatinya sedang berbahagia, mungkin cuma ketawa aja.

Sementara orang yang galau kebagian peran nangis bombay baca kalimat itu.

Berlebihan atau tidak, pertanyaannya cuma satu: relevankah kalimat itu bagi Anda?

Kalau buatku sendiri, kadang relevan, kadang juga engga.

Sebulan yang lalu sih gak relevan. Gimana engga, kerja part time aja bisa ngelunasin semua hutang dan beli hape baru. Belom lagi punya pacar yang ga ngitung lingkar dada eke. Oke, salah fokus. Maksudnya, baik hati dan perhatian. Gitu.

Tapi sekarang? Relevan amiiir!!

Pertama, proyek tempat aku kerja part time udah selesai. Duitnya juga udah abis. Terlepas dari boros apa engga, yang jelas uang itu berbuah kata “lunas” bagi semua hutangku. Dan hal-hal lain yang ga perlu disebutkan secara detil. Pamali, gitu.

Pacar saya, yang secara umur dan pengalaman jauh lebih bijaksana, mutusin aku pas hari lebaran. Berusaha gak pake sedih sih, kan haram. Tapi, berhubung satu dengan yg lainnya, tetep aja nangis. Semoga Tuhan mengampuni.

Alesan mutusin? Biyasa. Itu loh, kata-kata sakti ala anak muda jaman sekarang itu loh. “Kamu terlalu baik bagiku” ceileh. Gak pernah nyangka kata-kata itu akan sampai padaku. Cuma ya bedanya diucapin dalam Bahasa Jepang, pake acara bertele-tele pula.

Kemudian, dan semoga yang terakhir aja sih, aku sekarang jobless. Moneyless, boyfriendless, jobless. Hua, bisa dijadiin slogan baru itu. Kan, salah fokus lagi.

Alesan jobless? Sederhana. Kelewat percaya sama janji. Dijanjikan kerja di sebuah perusahaan. Tapi setelah proyek pertama selesai, ga ada follow up nya. Nunggu sampai nyerah. Akhirnya ya udah, mari kita lupakan. Eh udah kadung gua dapet proyekan kedua, akhirnya perusahaan pertama telpon, mau gak jadi pegawai tetap di sana. Tapi ya proyekan kedua lagi jalan, gak mungkin juga mundur tengah jalan. Mungkin aja sih, tapi udah kadung akrab (dan kadung jadian pula) sama klien saya. Akhirnya aku tolak secara halus.

Terus perusahaan kedua (kantornya si akang) juga sering banget bilang mau gak kerja di situ, minta gaji berapa, dsb. Dijanjiin mau diberangkatin ke Nippon pula. Tapi ya, keulang lagi. Ga ada follow up nya. Berusaha untuk lepas dari php-zone, akhirnya aku beraniin diri untuk konfirmasi. Dan… cabang mereka yang di Jakarta katanya ga butuh interpreter. Pada dasarnya mereka butuh sarjana teknik. Iyalah, perusahaan mesin. Demikian.

Mungkin sebelum lahir ke dunia saya emang ditakdirkan kebagian peran korban php -.-

Tapi ya, sebenernya itu gak bisa jadi alesan sih.

Kalo mau liat dari sisi positif, positif yang ekstrim tapi, harusnya ya aku gak usah nunggu janji itu terealisasi. Maju, cari yang lain. Mana yang cepat menerima saya, ya itu yang dipilih. Harusnya.

Tapi, kalo mau melihat dari sisi menengah positif, ya gak salah kalo aku nunggu. Kan dijanjiin. Aku juga udah kasih minat. Tinggal realisasinya aja kan. Ya tapi udahlah, aku gak akan menuntut apapun atas janji yang gak pernah terealisasi. Duilah, kenapa juga aku terlalu baik jadi korban php.

Tapi kalo mau liat dari sisi positif yang sedikit transeden, mungkin emang bukan rejekiku. Perusahaan pertama, di tengah-tengah masa tunggu, entah kenapa aku jadi kehilangan minat. Aku meragukan passionku bekerja di situ. Does my passion belong to that company? Haruskan aku kerja di tempat yg gak bisa menumbuhkan passionku? Yah, okelah masih terlalu dini buat ngomongin hal itu. Belum nyoba kerja juga. Tapi entahlah, rasanya ada sesuatu yg ga pas.

Perusahaan kedua, ya jelas-jelas mereka gak butuh interpreter kan. Sudah titik. Gak ada penjelasan lain.

Mungkin ada rejeki di tempat lain.

Tapi, gak setiap hari aku bisa menjaga pikiran positif macam ini.

Buka akun socmed, liat temen update soal kerjaan, rasanya rada iri gitu. Nonton dorama, tentang perjuangan anak muda, tentang keluarga, tentang ibu, rasanya hati kayak dihantam palu. Orang di luar sana berjuang membahagiakan keluarganya, ibunya. Aku ? masih aja dikirimin duit hasil jerih payah Mama. Setiap kali aku makan keripik kentang buatan Mama, spesial impor dari Padang sono, rasanya nyesek. Dulu Mama selalu mengiris kentang tipis-tipis, enak dan renyah. Tapi sekarang, tebelnya beda-beda. Masih inget aku dulu Mama pake kacamata bekas Papa yang rusak, gagang sebelahnya patah, dan entah minus nya sama apa engga sama Mama. Gak ada pilihan lain. Mata Mama udah tua, beli kacamata waktu itu rasanya gak sanggup. Iya, Mama sudah semakin tua. Temen dan kerabat lain seumuranku udah bisa kasih orang tuanya penghidupan dan cucu. Aku ? gak dua-duanya. Belum.

Yang paling bikin aku marah adalah ijazahku. Tertulis, lulus dengan pujian. Piagam yang menyebutkan aku lulusan terbaik Sastra Jepang periode wisudawan Maret tahun ini pun aku taruh entah di mana. Gak peduli sudah.

Nilai, IPK, pujian, mendadak jadi gak ada artinya lagi buatku.

Sertifikat NS yang aku bangga-banggakan, mendadak jadi sumber malu.

Sebab, harusnya semua itu bisa menjamin kehidupan yang lebih layak dan stabil buatku. Tapi sekarang ? Aku pengangguran. Bahan tertawaan orang.

Aku gak pernah menyangka frustasi pasca lulus akan datang padaku saat ini.

Mungkin itu semua pertanda kalau aku terlalu sombong. Harusnya ya aku terima saja apa yang ada. Kerja yang rajin, kumpulin uang buat keluarga di sana. Cari kenalan, menikah dengan orang baik-baik. Kasih cucu sebelum kedua orang tuaku meninggal.

Semua itu terhalang oleh rasa gengsi dan over-confidence.

Emang, aku ga pernah bermaksud memamerkan prestasi. Aku bukan tipe orang yang akan membahas berapa nilaiku kalau tidak ditanya sama yang berkepentingan. Tapi, menolak suatu tawaran kerja juga salah satu bentuk over-confidence, kan? Di saat orang susah-susah melamar kerja, aku malah menolak tawaran. Bodoh loh ya.

Nasi udah jadi bubur. Sekarang waktunya move on.

Tapi, di saat aku mencoba lebih realistis, selalu muncul kata-kata dalam pikiranku, “Tunggu dulu. Mari kita tunggu kesempatan yang lebih baik”

Manis emang. Aku mau aja nunggu. Cuma ya, sampai kapan? Apa aku harus mengulang kesalahan orang yang cuma duduk menunggu keajaiban? Engga kan? Aku harus menjemput keajaiban itu.

Aku bingung sama diriku sendiri. Kenapa sih susah sekali untuk jadi lebih berani mengambil risiko?

Kenapa sih aku harus jadi pemilih?

Kalau juga selama ini passion yang selalu aku jadikan alasan untuk memilih pekerjaan, apa benar aku punya passion? Emangnya hal apa yang ingin aku lakukan?

Kalau udah mikir gini aku pasti bakal marah-marah sendiri sama diriku. Kata-kata „dunia ini gak adil“ jadi begitu relevan buatku.

Cuma ya, berdiam diri di sini juga gak menghasilkan apapun.

Akhirnya aku berusaha keluar dari kamarku. Itu hal pertama yang harus aku lakukan. Hasilnya, kemarin aku bertemu dengan Pak Dekan.

Aku disarankan jadi asisten dosen di sana.

Wacana ini sebenernya udah ada sejak lama. Sejak aku baru dinyatakan lolos tes seleksi PMDK-UNAIR, Pak Ari menyarankan agar aku jadi dosen di FIB.

Dosen di Sastra Jepang juga sudah pernah menanyakan, apakah aku minat mengajar. Aku sudah berikan jawaban. Tapi ga ada follow up. Di saat seperti ini aku Cuma bisa bingung. Harusnya aku mengkonfirmasi atau menunggu? Aku minta pendapat dosen lainnya. Beliau bilang lebih baik menunggu, karena kalau aku yang maju ke sana, emangnya aku ini siapa.

Dan sekali lagi, wacana ini muncul. Dan sekarang aku menunggu. Kenapa juga aku gak kapok-kapok menunggu?

Setiap hari ketika aku bangun, aku merasa hampa. Harus ya aku menjalani hidup tanpa aktivitas yang berarti?

Harus ya aku mengikuti naluri semata?

Entah. Bingung.

Baiklah, aku harus mengakui kalau aku mengharapkan kepastian dari kampus. Hanya saja kali ini, aku gak mau cuma berdiam diri.

Jadi, kali ini aku mau coba apply part time job. Malam ini juga. Memang, waktu eksekusinya masih lama, masih bulan Oktober. Dan, memang ada wacana kalau ada kemungkinan proyek dari kantor si akang bakal dilaksanakan antara Oktober atau November. Ada kemungkinan mereka membutuhkan interpreter lagi. Tapi ya, aku gak harus selamanya bergantung pada wacana. Aku yang harus membuat wacana. Aku yang harus mengejar kesempatan itu sendiri.

Aku gak mau selamanya terjebak dalam peran yang merasa dunia ini gak adil.

Oh ya, ngomongin soal itu, aku sadar kalau sebenarnya aku punya passion. Aku ingin terlibat dalam misi membuat dunia jadi lebih baik. Entah itu jadi volunteer, panitia untuk acara sosial, atau staff organisasi sosial dalam skala internasional.

Cuma, aku kadang merasa mustahil, kurang kompeten untuk hal-hal semacam itu.

Tapi ya, aku berharap suatu saat aku punya keberanian dan kesempatan untuk mewujudkan passion itu.

Semoga.



Pekerjaan Impian

Jadi, ehm, udah sebulan lebih sejak lulus dan saya belum dapet pekerjaan yang tetap. Pekerjaan sebagai interpreter beberapa waktu lalu sangat menyenangkan dan menjadi pengalaman yang baik. Waktu itu, jujur aku merasa sangat lelah sampai-sampai berniat untuk istirahat dulu sebelum lanjut mencari kerja.

Yah, mungkin itu cuma salah satu alasan aja untuk ngga segera bergiat mencari kerja. Aku masih pingin main. Aku ngga mau jadi orang dewasa. Ngga siap memikul tanggung jawab. Lagipula, aku ngga bisa membayangkan diriku duduk manis di dalam kantor, mengenakan seragam, ikut meeting yang mengharuskan tata tertib santun dan sebagainya... No, I can't. I want to be free. Aku lebih suka pekerjaan lapangan dan ketemu banyak orang. Biarpun capek, tapi menurutku masih lebih mending daripada duduk seharian depan komputer. No. Terus pakai seragam kantor. Lebih no lagi.

Pernah, beberapa waktu lalu, pas Tomokiyo-sensei lagi berkunjung ke Surabaya, aku ditanyai beliau, "Cha-san ingin kerja apa?"

Jujur, aku paling ngga suka sama pertanyaan ini. Kenapa sih semua orang tanya itu mulu? Dulu Kamiya-san, bosnya Yudiah juga tanya gitu. Numakawa-san, bosnya Alfi, juga tanya gitu. Dan Putri-sensei. Dan Adis-sensei. Dan Jo-san. Dan Suzuki-san. Dan Anna. Duuuuh!!

Satu-satunya alasan aku ngga suka ditanyai begitu adalah: karena aku ngga tau mau kerja apa. Aku sebal ditanyai pertanyaan yang jelas-jelas aku ngga bisa jawab. Dan pertanyaan ini menyebalkan, selevel dengan pertanyaan zaman waktu kecil dulu, "cita-citanya apa?" aku ngga punya cita-cita khusus. Iyah, pernah bercita-cita jadi penulis. Tapi entah, mungkin aku tak berbakat.

Oke, balik lagi ke Tomokiyo-sensei. Waktu ditanyai begitu, sambil mengunyah irisan bawang bombay berlumur Thousand Island yang super maknyus itu, aku jawab "pokoknya yang ngga (menuntut) pakai seragam"

Tomokiyo-sensei tergelak. Pasti dia menganggapku anak kecil. Yang kawaii. Seperti kentang. Aku emang kawaii potato.

Baru kali ini aku menjawab dengan jujur. Waktu ditanyai Kamiya-san, dan yang lainnya, aku jawab "Apa saja. Saya ingin cari banyak pengalaman" terus mereka kagum gitu donk. Entah beneran kagum atau cuma basa-basi. Katanya, "Hebat, ya. Dewasa sekali"

Tapi ya, itu jawabannya diplomatis aja sih. Setengah bener setengah bohong. Bener, karena aku gatau mau kerja apa dan aku sadar aku ga boleh terlalu pilih-pilih kerjaan. Apa aja penting halal dan mencukupi. Bohong, karena ngga "semua pengalaman" ingin kupelajari. Aku ngga akan pernah mau disuruh kelola uang misalnya. Atau disuruh belajar bisnis. Atau marketing. No. Gakmau. Kan udah aku bilang aku sukanya kerjaan lapangan dan ngobrol sama banyak orang! Tuh kan, ujung-ujungnya  pemilih juga bah.

Seminggu lebih aku tanpa kerjaan yang pasti. Selama seminggu itu juga aku semacam menderita gejala galau udah-lulus-mau-kerja-apa. Merasa tenang, karena setidaknya untuk bulan ini ngga terlalu luntang-lantung dan aku punya waktu untuk mengembangkan hobiku. Merasa agak bersalah, karena masih belum bisa sepenuhnya mandiri dan ngga merepoti orang tua. Di saat orang lain susah payah cari kerja, aku malah seenak bodong tidur-tiduran di kamar kos.

Tapi, Allah memang Maha Baik. Akhirnya aku dapat inspirasi mau kerja apa.

Aku pingin kerja di perusahaan atau industri yang berhubungan dengan musik.

Lebih spesifiknya lagi, Yamaha Music Indonesia.

Lebih spesifik lagu? Yamaha Music Indonesia Jakarta. Kenapa? Karena kata Dida, kalau string instrument adanya di Jakarta. Yap, aku ingin kerja di mana aku bisa berhubungan dengan biola.

Jadi, inspirasi ini berawal dari keinginan untuk bisa main biola. Itu cita-citaku sejak SMA. Aku pingin bisa main alat musik, terutama piano/keybiard dan biola. Tapi ya karena piano itu butuh banyak ruang, aku memutuskan untuk mencoba biola dulu. Di tempatku les vokal juga ada kelas untuk biola. Biayanya relatif murah menurutku. Sekarang aku sedang berusaha agar bisa mendapatkan biola. Iseng punya iseng, coba tanya sama Dida yang kerja di Yamaha Music Indonesia Pasuruan, kira-kira apa Yamaha Music ada produk biola standar apa ngga. Abis kalau googling, ngga ada jawaban yang memuaskan, kira-kira biola standar yang pas untuk pemula itu apa. Begitu aku tanya soal biola, dia bilang kurang tahu karena tempatnya dia kebanyakan alat musik tiup seperti saxophone, flute, dan lainnya. Dia bilang, kalau biola mungkin di Jakarta. Dan.. ting! Masuklah inspirasi itu. Aku sampai gemetaran, saking excited nya. Belum pernah aku merasa begitu excited soal pekerjaan. Untuk pertama kalinya, aku memasang target untuk pekerjaanku.

Aku langsung coba cari tahu apa ada lowongan di Yamaha Music Indonesia. Ya, ada. Sayangnya aku belum memenuhi kualifikasi itu. Tapi tak apa, aku coba cara lain. Ya harus donk!

Oke, sekarang aku punya target. Ini dia tantangan yang aku tunggu. Jadi, mulai malam ini mari kita selesaikan quest ini.

Wish me luck!




Belanja Buku

Halo, lagi. Mm, kali ini bukan karena bosan makanya aku menulis, tapi karena... mulai tergugah untuk menulis lagi. Setengah termotivasi, setengah kesepian. Mbak Mega pulang kampung, siapa lagi yang bisa diajak ngobrol? Ternyata meskipun punya uang dan waktu, tapi kalau tak ada teman rasanya tetap saja sepi dan tak menyenangkan.

Oke, karena berlarut-larut dalam kesepian itu tak baik bagi kesehatan, maka aku memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Hari ini memang berniat ke Petra Togamas, mau ke sanggar Solado Voice. Yah, mau sekedar survey dulu. Aku memang niat ingin ikut bina vokalia. Yah, semacam cari kegiatan yang positif. Mama juga setuju. Meskipun aku malu mengakui hal ini, tapi aku pingin sedikitnya agak lebih pede kalau sewaktu-waktu diajak karaoke. Selama ini aku cuma jadi seksi PU a.k.a Penggembira Umum aja kalau di ruang karaoke. Itu loh, yang bagian kincring-kincring terus nanti ada lampunya warna-warni tiap kali dipukul. Norak sih, tapi masih kurang memalukan dibandingkan suaraku yang merdunya bisa bikin ikan paus keguguran.

Niat utamanya sih survey sanggar dulu. Tapi yah, emang salah sih itu sanggar. Kenapa di pertokoan Togamas sih. Kan tujuannya jadi bias hehe... Iya, sebenernya bisa aja sih aku sms atau via telepon aja kalau cuma mau sekedar tanya jam latihan dan biaya kursus. Tapi emang dasar aku sih, kalau toko buku aja dijabanin!

Cuma hari ini aku akuin, keterlaluan. Aku pergi ke dua toko buku yang berbeda, yang berakibat pada belanja buku berlebihan. Awalnya sih kecelakaan, gara-gara waktu naik angkot aku duduk di belakang, dan emang sialan ya punya badan tinggi, aku ngga bisa ngeliat keluar kalau ngga nunduk. How long I supposed to bend my neck just for seeking my destination? Sakit juga kali nunduk terus-terusan. Udah juga capek-capek nunduk, eh malah kelewatan. Jauh malah. Hampir ke Rumah Buku. Dan yah, karena udah terlanjur, ya akhirnya aku mampir sebentar ke Rumah Buku. Alasannya sih pingin nyari bukunya Romo Mangunwijaya, Burung-burung Manyar yang aku suka banget itu. Sebenernya bisa aja sih langsung tanya ke pegawainya, kira-kira buku itu ada apa ngga. Tapi toh ujung-ujungnya aku malah asyik cuci mata di corner buku-buku diskon, yang berakibat beli tiga buku yang kebetulan tidak mengandung unsur "burung" ataupun "manyar" pada judulnya.

First, They Killed My Father by Loung Ung, A Lucky Child by Thomas Buergenthal, dan The Soloist by Steve Lopez. Dua pertama aku pilih karena berteman trauma pasca perang. Yah, bukan maniak sejarah juga sih (kecuali sejarah yang berhubungan dengan seni atau simbologi, pasti aku lahap dah) tapi menurutku better lah ketimbangan teenlit cinta monyet gitu. Oh ya, ngomong-ngomong soal teenlit, jujur aku hampir muntab begitu masuk toko buku yang satu itu. Di rak-rak utama mereka kebanyakan teenlit! Yah, bukannya mau bilang teenlit itu jelek atau gimana, cuma emang bukan seleraku. Emang sih ga perlu juga sampai kesal, tapi menurutku kenapa juga bukan buku-buku berbobot yang dipajang di tengah? Oke, berarti selera pasar zaman sekarang sukanya yang cintacintaan gitu yah. Bosen.

Buku ketiga, The Soloist, sebenarnya gambling juga sih. Aku ngga terlalu yakin buku ini bisa memikatku sebagaimana Tokyo Zodiac Murder membuatku tergila-gila, tapi kayaknya aku pernah dengar judul ini entah di 9gag atau di mana. Yah, mereka menyebutkan judul film sih kalau ngga salah. Kalau emang udah dijadiin film, aku lebih suka nonton filmnya sebenarnya. Tapi yah tak ada salahnya juga coba baca bukunya. Tapi, ketiga buku ini masih masuk daftar pending dulu. Belum bisa aku baca sekarang, karena aku bertemu dengan buku "idolaku" yang dulu.

Nah, setelah puas belanja di Rumah Buku, akhirnya aku ke Petra Togamas. Kali ini aku duduk di depan, biar ngga kecelakaan lagi. Sampai di sana, aku langsung ke sanggar Solado dulu. Kalau ke toko bukunya dulu takut nanti malah kalap sampai sore hahaha... Di luar dugaan, sanggarnya kelihatan kecil. Tapi, tak apalah sepertinya. Biaya pendaftaran dan kursus per bulannya juga murah. Akhirnya aku mantap ingin belajar di situ. Cuma sayang, mereka ngga buka hari Minggu. Emang sih statusku sekarang masih pengangguran (yang menikmati hidup sekali hehe) dan aku bisa kapan saja les. Tapi misalnya sewaktu-waktu aku dapat kerjaan lagi, apa bisa bagi waktu? Akhirnya si mbaknya, Mbak Riris namanya, menyarankan aku untuk pikir-pikir dulu, sambil kasih selebaran dan nomor hp nya. Emang sih aku udah kebelet banget dan 90% mantap pingin belajar di sana, tapi emang lebih bijak kalau dipikir dulu.

Selesai survey, langsunglah aku naik ke lantai 2, ke toko buku. Beneran pingin nyari bukunya Romo kok, hehe. Dan... memang hanya Togamas yang tak mengkhianatiku. Di rak yang tertata rapi, ada beberapa eksemplar buku dambaanku itu. Covernya baru pula! Macam gadis mana yang tak senang? #apasih

Sebenarnya ada dua versi, yang satu sepertinya cetakan cukup lama, meskipun tidak selama versi awalnya dulu. Sayang aku ngga ambil fotonya tadi. Yang satunya ilustrasi kepala manusia yang tersusun dari potret burung-burung manyar. Sungguh berseni dan sastrawi sekali. Tapi kenapa harganya lebih mahal sepuluh ribuan ya? Akhirnya aku ambil yang ini, karena lebih murah tentunya hahaha

Cover yang ini indah sekali. bahkan bagian dalamnya juga ada ilustrasi burung kecil yang imut. Setiap satu bab berakhir menjelang bab berikutnya, pasti ada satu halaman ilustrasi ini. Lucu banget!

Ketemu buku ini, buru-buru aku ke kasir, minta disampuli bukunya, dan pulang. Pertama, karena pingin cepat-cepat baca. Kedua, aku takut kalap lagi T.T

Begitu sampai kos, aku langsung baca buku idolaku itu. Aku sangat bersyukur karena isinya tak berubah sama sekali. Aku agak takut sebenarnya dengan terbitan baru. Takut kalau isinya diubah atau bagaimana. Tapi untung aja ngga. Cuma, kali ini kok sepertinya aku kehilangan feel ya. Aku inget dulu begitu baca buku ini aku ketawa terbahak-bahak. That was my best laughter for all time. Mungkin belum sampai di bagian lucunya. Mungkin.

Oke, berhubung aku udah kepingin lanjut baca lagi, maka postingan ini aku akhiri sampai di sini dulu. Jelek banget sih emang cara endingku ini, tapi mau gimana lagi. Sampai jumpa di postingan berikutnya! :D


Diriku yang Menulis vs Diriku yang Tak Menulis

Mau bilang "halo!" tapi terlalu norak juga ya. Udah lama ngga nulis di sini. Lamaaaaa banget. Satu hal yang aku sadari: aku udah berubah. Udah bukan aku yang dulu suka (sekali) menulis.

Ini dia satu hal yang aku takutkan. Selama ini aku berpikir kalau diriku yang sebenarnya adalah "diriku yang menulis". Awalnya memang aku suka menulis. Aku ngga punya teman yang bisa aku ajak bicara. Makanya aku menulis diary ataupun blog. Aku masih inget hampir setiap hari aku menulis blog. Bahkan ketika aku ngga bisa konek internet, aku bela-belain tulis draftnya terus kusimpan di flash disk! Ya tuhan, aku mulai merasa sayang sekaligus kasihan pada diriku yang dulu hahaha...

Tapi, semakin lama aku jadi semakin "enggan" menulis. Entah sejak kapan aku merasa menulis di blog jadi begitu merepotkan. Aku mulai bosan. Ada suatu masa di mana aku "terpaksa" menulis blog, hanya karena supaya blogku tidak mati, atau memenuhi permintaan beberapa teman yang "kangen" dengan tulisan-tulisanku. Akhirnya, lama-lama aku merasa benar-benar bosan dan berhenti menulis. Buat apa menulis kalau terpaksa, begitulah alasanku. Dan akhirnya aku jadi memberikan pembenaran pada diriku sendiri, diriku yang kini tidak menulis.

Tapi (lagi)...

Toh malam ini aku menulis juga. Semata-mata hanya untuk mengusir kebosanan. Mengisi waktu luang yang terasa semaaaaakin banyak karena aku kini tidak punya tanggungan apapun lagi, selain diriku sendiri. Oh ya, aku sudah lulus S1 sekarang. Akhirnya. 28 Maret 2015 kemarin aku wisuda. Dan sambil mengetik ini aku merasa heran sekaligus kagum pada diriku yang bisa mengatakan hal seperti itu dengan entengnya. Semacam lupa beratnya perjuangan untuk merampungkan studi ini. Tapi ya, akhirnya aku memang merasa biasa saja. Tidak ada yang perlu diselebrasikan. Aku jadi merasa heran kenapa manusia suka sekali merayakan sesuatu. Padahal sesuatu yang simpel itu sebenarnya... indah.

Lalu, menjelang dan sesudah wisuda aku sempat kerja part time sebagai interpreter untuk sebuah pabrik spring di Gresik. Oke, aku ngga tahu istilah apa yang tepat untuk menggambarkan pekerjaan ini. I mean, penghasilannya cukup besar untuk kaliber "part time". Mungkin lebih besar dari pegawai tetap. Tapi yah memang aku bekerja hanya dalam waktu singkat saja, satu setengah bulan. Intinya, it was good and easy money. Oke, ini sombong. It was not so easy. Tiap hari aku berangkat jam 6 pagi dari kos ke Gresik, lalu pulang sampai kos sekitar jam 9-10 malam. Kerja tiap Senin sampai Sabtu. Meskipun aku naik mobil jemputan tetap saja aku vacancy shock. Istilah asbun ini, maksudnya saking padatnya kerjaan ini sampai-sampai aku merindukan hari libur di mana aku bisa bangun siang, tidur siang, dan tidur seharian. Tapi yayaya ini jadi pengalaman yang bagus buatku sebagai interpreter. Dan yah, sempat bertemu dengan seseorang yang... ngg... berkesan. Sangat berkesan. Yang membuatku kagum padanya. Sayang sudah berkeluarga. Tapi, berkat orang itu, aku jadi bisa memastikan kira-kira jodoh seperti apa yang aku mau. Ya, akhirnya.

Dan... ehm... sejak pertemuan dan perpisahan dengan orang itu, aku jadi terinspirasi untuk menulis lagi. Engga dink, belum ketemu inspirasinya, hanya saja mulai tergugah untuk menulis lagi. Puisi kah. Cerpen kah. Tapi kalau cerpen aku masih belum percaya diri. Mau nulis puisi pun rasanya... Belum ketemu kata-kata yang tepat.

Lalu aku sadar, ternyata kemampuan menulisku tumpul parah. Sedih, tapi tidak perlu disesali. Bisa saja, setelah ini aku termotivasi untuk mengasah kemampuanku, dengan teknik dan gaya yang baru, yang lebih baik, lebih anggun dan elegan. Bisa saja. Abis, kalau baca puisiku yang sekarang-sekarang ini, rasanya masih kurang clean. Kesannya amburadul. Entahlah. Sepertinya aku memasuki fase tidak puas terhadap diri sendiri. Yah, pada level tertentu itu bagus. Artinya aku butuh tantangan baru, yang bisa merangsang perkembangan diri sendiri.

Aku sadar, mungkin aku banyak berubah. Tapi, aku tidak membenci perubahan ini. Aku cuma benci sama sikapku yang cenderung lambat memproses perubahan ini. Kebanyakan bengong dan gulung-gulung di kasurnya. Padahal sebenarnya ada banyak hal yang bisa segera dilakukan, segera dicapai. Mungkin aku kurang berani. Kurang nekat. Ada rasa sebagian takut kehilangan diriku yang dulu.

But, life must goes on. Aku harus bisa memaafkan masa lalu, menikmati hari ini, dan berlari penuh optimis menuju masa depan. Ya, harus bisa.

Berhubung rasa bosanku akhirnya pergi, jadi aku mau mengakhiri positingan ini. Sampai ketemu di postingan berikutnya, entah kapan. Mungkin karena stimulasi malam ini, besok aku menulis lagi. Mungkin juga karena kebanyakan bangun siang akhirnya sifat malasku mendominasi lagi, sampai aku ketemu seseorang atau sesuatu yang mampu memotivasi diriku yang menulis lagi.

See you!
 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates