Pekerjaan Impian

Jadi, ehm, udah sebulan lebih sejak lulus dan saya belum dapet pekerjaan yang tetap. Pekerjaan sebagai interpreter beberapa waktu lalu sangat menyenangkan dan menjadi pengalaman yang baik. Waktu itu, jujur aku merasa sangat lelah sampai-sampai berniat untuk istirahat dulu sebelum lanjut mencari kerja.

Yah, mungkin itu cuma salah satu alasan aja untuk ngga segera bergiat mencari kerja. Aku masih pingin main. Aku ngga mau jadi orang dewasa. Ngga siap memikul tanggung jawab. Lagipula, aku ngga bisa membayangkan diriku duduk manis di dalam kantor, mengenakan seragam, ikut meeting yang mengharuskan tata tertib santun dan sebagainya... No, I can't. I want to be free. Aku lebih suka pekerjaan lapangan dan ketemu banyak orang. Biarpun capek, tapi menurutku masih lebih mending daripada duduk seharian depan komputer. No. Terus pakai seragam kantor. Lebih no lagi.

Pernah, beberapa waktu lalu, pas Tomokiyo-sensei lagi berkunjung ke Surabaya, aku ditanyai beliau, "Cha-san ingin kerja apa?"

Jujur, aku paling ngga suka sama pertanyaan ini. Kenapa sih semua orang tanya itu mulu? Dulu Kamiya-san, bosnya Yudiah juga tanya gitu. Numakawa-san, bosnya Alfi, juga tanya gitu. Dan Putri-sensei. Dan Adis-sensei. Dan Jo-san. Dan Suzuki-san. Dan Anna. Duuuuh!!

Satu-satunya alasan aku ngga suka ditanyai begitu adalah: karena aku ngga tau mau kerja apa. Aku sebal ditanyai pertanyaan yang jelas-jelas aku ngga bisa jawab. Dan pertanyaan ini menyebalkan, selevel dengan pertanyaan zaman waktu kecil dulu, "cita-citanya apa?" aku ngga punya cita-cita khusus. Iyah, pernah bercita-cita jadi penulis. Tapi entah, mungkin aku tak berbakat.

Oke, balik lagi ke Tomokiyo-sensei. Waktu ditanyai begitu, sambil mengunyah irisan bawang bombay berlumur Thousand Island yang super maknyus itu, aku jawab "pokoknya yang ngga (menuntut) pakai seragam"

Tomokiyo-sensei tergelak. Pasti dia menganggapku anak kecil. Yang kawaii. Seperti kentang. Aku emang kawaii potato.

Baru kali ini aku menjawab dengan jujur. Waktu ditanyai Kamiya-san, dan yang lainnya, aku jawab "Apa saja. Saya ingin cari banyak pengalaman" terus mereka kagum gitu donk. Entah beneran kagum atau cuma basa-basi. Katanya, "Hebat, ya. Dewasa sekali"

Tapi ya, itu jawabannya diplomatis aja sih. Setengah bener setengah bohong. Bener, karena aku gatau mau kerja apa dan aku sadar aku ga boleh terlalu pilih-pilih kerjaan. Apa aja penting halal dan mencukupi. Bohong, karena ngga "semua pengalaman" ingin kupelajari. Aku ngga akan pernah mau disuruh kelola uang misalnya. Atau disuruh belajar bisnis. Atau marketing. No. Gakmau. Kan udah aku bilang aku sukanya kerjaan lapangan dan ngobrol sama banyak orang! Tuh kan, ujung-ujungnya  pemilih juga bah.

Seminggu lebih aku tanpa kerjaan yang pasti. Selama seminggu itu juga aku semacam menderita gejala galau udah-lulus-mau-kerja-apa. Merasa tenang, karena setidaknya untuk bulan ini ngga terlalu luntang-lantung dan aku punya waktu untuk mengembangkan hobiku. Merasa agak bersalah, karena masih belum bisa sepenuhnya mandiri dan ngga merepoti orang tua. Di saat orang lain susah payah cari kerja, aku malah seenak bodong tidur-tiduran di kamar kos.

Tapi, Allah memang Maha Baik. Akhirnya aku dapat inspirasi mau kerja apa.

Aku pingin kerja di perusahaan atau industri yang berhubungan dengan musik.

Lebih spesifiknya lagi, Yamaha Music Indonesia.

Lebih spesifik lagu? Yamaha Music Indonesia Jakarta. Kenapa? Karena kata Dida, kalau string instrument adanya di Jakarta. Yap, aku ingin kerja di mana aku bisa berhubungan dengan biola.

Jadi, inspirasi ini berawal dari keinginan untuk bisa main biola. Itu cita-citaku sejak SMA. Aku pingin bisa main alat musik, terutama piano/keybiard dan biola. Tapi ya karena piano itu butuh banyak ruang, aku memutuskan untuk mencoba biola dulu. Di tempatku les vokal juga ada kelas untuk biola. Biayanya relatif murah menurutku. Sekarang aku sedang berusaha agar bisa mendapatkan biola. Iseng punya iseng, coba tanya sama Dida yang kerja di Yamaha Music Indonesia Pasuruan, kira-kira apa Yamaha Music ada produk biola standar apa ngga. Abis kalau googling, ngga ada jawaban yang memuaskan, kira-kira biola standar yang pas untuk pemula itu apa. Begitu aku tanya soal biola, dia bilang kurang tahu karena tempatnya dia kebanyakan alat musik tiup seperti saxophone, flute, dan lainnya. Dia bilang, kalau biola mungkin di Jakarta. Dan.. ting! Masuklah inspirasi itu. Aku sampai gemetaran, saking excited nya. Belum pernah aku merasa begitu excited soal pekerjaan. Untuk pertama kalinya, aku memasang target untuk pekerjaanku.

Aku langsung coba cari tahu apa ada lowongan di Yamaha Music Indonesia. Ya, ada. Sayangnya aku belum memenuhi kualifikasi itu. Tapi tak apa, aku coba cara lain. Ya harus donk!

Oke, sekarang aku punya target. Ini dia tantangan yang aku tunggu. Jadi, mulai malam ini mari kita selesaikan quest ini.

Wish me luck!




Belanja Buku

Halo, lagi. Mm, kali ini bukan karena bosan makanya aku menulis, tapi karena... mulai tergugah untuk menulis lagi. Setengah termotivasi, setengah kesepian. Mbak Mega pulang kampung, siapa lagi yang bisa diajak ngobrol? Ternyata meskipun punya uang dan waktu, tapi kalau tak ada teman rasanya tetap saja sepi dan tak menyenangkan.

Oke, karena berlarut-larut dalam kesepian itu tak baik bagi kesehatan, maka aku memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Hari ini memang berniat ke Petra Togamas, mau ke sanggar Solado Voice. Yah, mau sekedar survey dulu. Aku memang niat ingin ikut bina vokalia. Yah, semacam cari kegiatan yang positif. Mama juga setuju. Meskipun aku malu mengakui hal ini, tapi aku pingin sedikitnya agak lebih pede kalau sewaktu-waktu diajak karaoke. Selama ini aku cuma jadi seksi PU a.k.a Penggembira Umum aja kalau di ruang karaoke. Itu loh, yang bagian kincring-kincring terus nanti ada lampunya warna-warni tiap kali dipukul. Norak sih, tapi masih kurang memalukan dibandingkan suaraku yang merdunya bisa bikin ikan paus keguguran.

Niat utamanya sih survey sanggar dulu. Tapi yah, emang salah sih itu sanggar. Kenapa di pertokoan Togamas sih. Kan tujuannya jadi bias hehe... Iya, sebenernya bisa aja sih aku sms atau via telepon aja kalau cuma mau sekedar tanya jam latihan dan biaya kursus. Tapi emang dasar aku sih, kalau toko buku aja dijabanin!

Cuma hari ini aku akuin, keterlaluan. Aku pergi ke dua toko buku yang berbeda, yang berakibat pada belanja buku berlebihan. Awalnya sih kecelakaan, gara-gara waktu naik angkot aku duduk di belakang, dan emang sialan ya punya badan tinggi, aku ngga bisa ngeliat keluar kalau ngga nunduk. How long I supposed to bend my neck just for seeking my destination? Sakit juga kali nunduk terus-terusan. Udah juga capek-capek nunduk, eh malah kelewatan. Jauh malah. Hampir ke Rumah Buku. Dan yah, karena udah terlanjur, ya akhirnya aku mampir sebentar ke Rumah Buku. Alasannya sih pingin nyari bukunya Romo Mangunwijaya, Burung-burung Manyar yang aku suka banget itu. Sebenernya bisa aja sih langsung tanya ke pegawainya, kira-kira buku itu ada apa ngga. Tapi toh ujung-ujungnya aku malah asyik cuci mata di corner buku-buku diskon, yang berakibat beli tiga buku yang kebetulan tidak mengandung unsur "burung" ataupun "manyar" pada judulnya.

First, They Killed My Father by Loung Ung, A Lucky Child by Thomas Buergenthal, dan The Soloist by Steve Lopez. Dua pertama aku pilih karena berteman trauma pasca perang. Yah, bukan maniak sejarah juga sih (kecuali sejarah yang berhubungan dengan seni atau simbologi, pasti aku lahap dah) tapi menurutku better lah ketimbangan teenlit cinta monyet gitu. Oh ya, ngomong-ngomong soal teenlit, jujur aku hampir muntab begitu masuk toko buku yang satu itu. Di rak-rak utama mereka kebanyakan teenlit! Yah, bukannya mau bilang teenlit itu jelek atau gimana, cuma emang bukan seleraku. Emang sih ga perlu juga sampai kesal, tapi menurutku kenapa juga bukan buku-buku berbobot yang dipajang di tengah? Oke, berarti selera pasar zaman sekarang sukanya yang cintacintaan gitu yah. Bosen.

Buku ketiga, The Soloist, sebenarnya gambling juga sih. Aku ngga terlalu yakin buku ini bisa memikatku sebagaimana Tokyo Zodiac Murder membuatku tergila-gila, tapi kayaknya aku pernah dengar judul ini entah di 9gag atau di mana. Yah, mereka menyebutkan judul film sih kalau ngga salah. Kalau emang udah dijadiin film, aku lebih suka nonton filmnya sebenarnya. Tapi yah tak ada salahnya juga coba baca bukunya. Tapi, ketiga buku ini masih masuk daftar pending dulu. Belum bisa aku baca sekarang, karena aku bertemu dengan buku "idolaku" yang dulu.

Nah, setelah puas belanja di Rumah Buku, akhirnya aku ke Petra Togamas. Kali ini aku duduk di depan, biar ngga kecelakaan lagi. Sampai di sana, aku langsung ke sanggar Solado dulu. Kalau ke toko bukunya dulu takut nanti malah kalap sampai sore hahaha... Di luar dugaan, sanggarnya kelihatan kecil. Tapi, tak apalah sepertinya. Biaya pendaftaran dan kursus per bulannya juga murah. Akhirnya aku mantap ingin belajar di situ. Cuma sayang, mereka ngga buka hari Minggu. Emang sih statusku sekarang masih pengangguran (yang menikmati hidup sekali hehe) dan aku bisa kapan saja les. Tapi misalnya sewaktu-waktu aku dapat kerjaan lagi, apa bisa bagi waktu? Akhirnya si mbaknya, Mbak Riris namanya, menyarankan aku untuk pikir-pikir dulu, sambil kasih selebaran dan nomor hp nya. Emang sih aku udah kebelet banget dan 90% mantap pingin belajar di sana, tapi emang lebih bijak kalau dipikir dulu.

Selesai survey, langsunglah aku naik ke lantai 2, ke toko buku. Beneran pingin nyari bukunya Romo kok, hehe. Dan... memang hanya Togamas yang tak mengkhianatiku. Di rak yang tertata rapi, ada beberapa eksemplar buku dambaanku itu. Covernya baru pula! Macam gadis mana yang tak senang? #apasih

Sebenarnya ada dua versi, yang satu sepertinya cetakan cukup lama, meskipun tidak selama versi awalnya dulu. Sayang aku ngga ambil fotonya tadi. Yang satunya ilustrasi kepala manusia yang tersusun dari potret burung-burung manyar. Sungguh berseni dan sastrawi sekali. Tapi kenapa harganya lebih mahal sepuluh ribuan ya? Akhirnya aku ambil yang ini, karena lebih murah tentunya hahaha

Cover yang ini indah sekali. bahkan bagian dalamnya juga ada ilustrasi burung kecil yang imut. Setiap satu bab berakhir menjelang bab berikutnya, pasti ada satu halaman ilustrasi ini. Lucu banget!

Ketemu buku ini, buru-buru aku ke kasir, minta disampuli bukunya, dan pulang. Pertama, karena pingin cepat-cepat baca. Kedua, aku takut kalap lagi T.T

Begitu sampai kos, aku langsung baca buku idolaku itu. Aku sangat bersyukur karena isinya tak berubah sama sekali. Aku agak takut sebenarnya dengan terbitan baru. Takut kalau isinya diubah atau bagaimana. Tapi untung aja ngga. Cuma, kali ini kok sepertinya aku kehilangan feel ya. Aku inget dulu begitu baca buku ini aku ketawa terbahak-bahak. That was my best laughter for all time. Mungkin belum sampai di bagian lucunya. Mungkin.

Oke, berhubung aku udah kepingin lanjut baca lagi, maka postingan ini aku akhiri sampai di sini dulu. Jelek banget sih emang cara endingku ini, tapi mau gimana lagi. Sampai jumpa di postingan berikutnya! :D


 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates