Itu hal yang aku tekankan pada diriku sendiri. Setidaknya, itulah harapanku. Aku akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan berjalan lancar. Aku tak perlu menyesali apapun ataupun merasa rendah diri. Semua akan berakhir bahagia.
Tetapi...
Benarkah demikian?? Kelihatannya sekarang mungkin akan baik-baik saja. Tapi aku tak tahu masa depan. Terutama tentang pernikahan. Aku tak mau mengulangi kegagalan orang tuaku. Aku ingin bersama suamiku, tanpa pertengkaran yang berarti, apalagi perceraian. Tidak, aku tak boleh bercerai jika aku sudah menikah kelak. Karena jika aku bercerai, sama saja aku mengulangi kegagalan orang tuaku.
Siapa yang tidak menginginkan pasangan hidup yang selalu berada di sisi kita, menemani dalam suka-duka, dan menyayangi kita dengan setulus hati? Tak ada orang waras yang tidak menginginkan hal itu. Begitu pula aku. Walaupun aku kurang waras, aku juga menginginkannya. Aku pikir aku menemukan jawabannya pada diri Hanif. Aku begitu percaya padanya, dia akan selalu menyayangiku dan tak akan pernah meninggalkanku.
Namun, seberapa lamakah cinta itu bisa bertahan?? Di era yang serba sulit dan ambigu ini, degenerasi moral, apakah seorang manusia tetap bisa bertahan (dengan prinsipnya)? Nonsens! Tak akan ada yang bisa, kecuali orang itu memang tak pernah mengabdikan hidup pada fana dunia. Sayangnya, aku bukan orang yang seperti itu. Aku pikir Hanif pun juga tidak. Kami adalah orang yang terlalu mencintai dunia ini.
Yang aku khawatirkan, bagaimana jika aku ataupun Hanif tak bisa lagi bertahan dengan prinsip (cinta) kami. Ya, aku benar-benar mengkhawatirkannya. Konyol memang, tetapi aku mengharapkannya sebagai pasangan hidupku. Dia sendiri berjanji seperti itu. Aku tak tahu apakah janji itu bisa bertahan melawan dinginnya keangkuhan zaman. Tak tahu. Tapi, boleh kan aku berharap?
Ahahahahaa... Aku tak menyangka aku sekonyol ini. Untuk apa aku mengkhawatirkan hal itu??? Jodoh ada di tangan Tuhan, bukan aku yang berhak memilah-milih pasanganku nanti. Semua rahasia Tuhan itu indah, bukan?
Hanya saja, bagaimana jika Tuhan menghukumku? Aku lalai sebagai hambaNya. Aku tak pernah menghiraukanNya. Mungkin saat ini Tuhan tengah memberiku kenikmatan-kenikmatan agar aku tambah lengah. Hingga suatu saat nanti Tuhan menurunkan siksanya untukku: siksaan mental. Kesedihan dan kesepian yang terlalu dingin.
Mengapa aku berkata demikian?? Apakah aku putus asa? Aku harap tidak. Aku hanya ingin mengungkapkan semua perasaanku, pikiranku tentang masa depan. Aku takut tak ada laki-laki yang mau menerimaku. Aku memiliki penyakit, yang tidak akan bisa ditoleransi oleh laki-laki manapun. Selama ini aku menutup-nutupinya. Tak ada yang tahu. Keluargaku pun tidak. Aku berpikir, "I'll be fine." Suatu saat penyakitku ini akan sembuh. Kalaupun tidak, aku akan mengumpulkan uang untuk berobat.
Kini, aku rasa aku harus membuang pikiran itu. Untuk makan saja aku berhutang, apalagi untuk berobat??? Biar aku kerja seperti apa, mengajar les privat sampai ambruk juga, tidak akan terbayar. Aku pusing memikirkan hutang-hutangku itu. Entah bagaimana aku bisa melunasinya, aku hanya berharap Dia masih berbaik hati untuk menolongku keluar dari kesulitan ini.
Dan... jika seandainya, ada seorang laki-laki akan melamarku kelak, aku akan jujur padanya. Aku akan beritahu semua tentang penyakitku. Dia mau teima atau tidak, aku akan pasrah. Jika saja Hanif benar-benar melamarku, apakah aku harus jujur? Bagaimana jika dia tidak mau terima? Lalu meninggalkanku? Aku terlalu menyayanginya. Dan aku tidak tahu bagaimana nanti jika dia benar-benar meninggalkanku.
I'll be fine. My illness will be cured. I hope so.