My Lovely Goat XDD

Hanif punya panggilan baru dariku lagi: Mbek. Mengapa? Ada dua alasan. Pertama, bahasa Mandarinnya kambing adalah yang. Jika kalian pernah tahu orang yang memanggil pacarnya denagn sebutan yang, pasti kalian akan memahami poin ini. Kedua, karena Hanif punya jenggot di bawah bibir dan dagunya. Mungkin bagi sebagian orang itu menjijikan, tapi bagiku justru menggemaskan. Hanif sendiri tak mau dipanggil dengan sebutan itu. Tapi kini dia berubah. Dia bahwkan pernah berkata padaku seperti ini: "Cha ke mana? Mbek kangen.." Aku benar-benar kaget. Itu bukan hal yang biasa. Kini, Mbek banyak berubah untukku, untuk kami berdua.

Akhir-akhir ini dia begitu perhatian, seperti dulu lagi. Mungkin dulu aku akan menganggap dia gombal atau sok memperhatikanku. Tetapi sejak dia sibuk dengan segala kegiatannya, jarang memiliki waktu untukku, kini perhatiannya terasa begitu manis bagiku. Aku bersyukur memiliki kekasih yang pengertian seperti dirinya.

Hari Minggu kemarin (21 Desember 2008), dia datang ke rumahku, setelah 3 minggu lamanya tak berkunjung lagi ke rumahku. Tentu saja aku menyambutnya dengan perasaan gembira. Kami bermain halma. Tapi aku harus menilainya dengan jujur. dia tak pandai bermain halma. Toh, dia tetap setia dan tulus menemaniku bermain. Aku senang, bahagia sebahagia-bahagianya.

Mudah-mudahan semua kebahagiaan ini mendapat ridha dariNya.

Arigatou Gozaimashita...

Aku ingin berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikanku ridha-Nya. Aku tahu bahwa rencanaNya selalu indah, tanpa pernah kita duga sebelumnya. Dan aku telah salah untuk berputus asa, walaupun itu hanya sedikit.

Kemarin, sepeda motor ayahku akan diambil orang koperasi karena ayahku tak bisa membayar angsuran kredit di koperasi itu. Aku yang tengah berpuasa tiada henti berdoa agar ayahku bisa mendapatkan uang untuk membayar angsuran itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana seandainya kami tak punya motor lagi. Ayahku, sejak pulang mengantarkanku ke sekolah hingga aku pulang sekolah, masih wara-wiri ke teman-temannya. Bukan ingin mencari pinjaman, tapi justru menagih hutang orang-orang itu kepada ayahku! Aku tak tahu sebenarnya ayahku punya banyak uang, hanya saja masih belum dapat ditagih. Orang-orang itu selalu saja berkelit. Yang paling mengesalkan, ada seorang anak dari pengusaha besar nasional yang berhutang pada ayahku 4 tahun yang lalu. Jumlah uangnya sekitar 4,8 juta rupiah. Ayahku, saking putus asanya mungkin, hanya meminta uang 1,5 juta saja hari itu. Sisanya tidak dibayar juga tak apa-apa. Tetapi orang kaya itu hanya berkata bahwa dia tak punya uang! Aku tak mengerti, masalah apakah yang dialami orang kaya itu sehingga ia merasa bahwa kekayaannya seang terancam? Aku benar-benar kesal mendengar cerita ayahku. Tetapi di tengah kekesalanku, aku mencoba untuk merenung. Mungkinkah ini adalah cobaan? Atau bahkan hukuman untukku?

Ayahku akhirnya berhasil mendapat pinjaman dari temannya, seorang yang berpengaruh dalam bidang perdagangan. Kata orang itu, ayahku dapat mengambilnya jam 7-8 malam. Aku pun bersyukur, kupikir Allah mengabulkan doaku. Namun, kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Sekitar jam 8 malam ayahku pergi ke rumah orang itu. Ternyata Allah menyimpan rencana lain untuk kami. Teman ayahku itu dipanggil menteri perindustrian untuk menghadiri semacam pertemuan di Jakarta. Dia sangat menyesal dan berulang kali meminta maaf pada ayahku karena tidak bisa memberikan uang itu. Ayahku lemas. Aku pasrah.

Banyak pikiran yang berkecamuk dalam benakku. Aku sempat berpikir negatif tentang teman ayahku itu. Mungkin saja dia hanya berkelit, seperti teman ayahku yang lainnya? Bahkan aku yang putus asa ini mencoba menantang Tuhan. Kukatakan padaNya, bahwa jika ini addalah cobaan, kuatkanlah hati kami untuk menjalaninya. Tetapi jika ini adalah hukuman untukku, aku mohon padaNya, ampuni semua dosa-dosa ku dan jangan bebani orang tuaku lagi.

Seperti yang aku bilang, rencana Tuhan itu memang indah. Hari ini, sekolahku pulang lebih awal karena ada ayah dari guru agamaku yang meninggal. Saat aku akan menghubungi ayahku agar aku dijemput, aku mengurungkannya. Aku ingat ayahku yang begitu lelah, fisik dan batinnya. Aku tak ingin menambah bebannya lagi. Maka kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Hal ini tak masalah, karena aku dulu waktu SMP pernah berjalan kaki pulang sekolah dari SMPku ke rumah kontrakan di Japan Raya dulu. Jaraknya cukup jauh, sekitar 4 km. Dan aku merasa kali ini jika aku berjalan kaki tak apa, toh jarak rumah kontrakanku yang sekarang lumayan dekat (bagiku). Di tengah jalan aku bertemu teman-temanku. Mereka bertanya mengapa aku berjalan kaki. Aku hanya menjawab tak apa-apa. Ada teman yang merasa kasihan padaku, lalu aku dipaksanya untuk diantar pulang. Tadinya sungkan, tapi aku terima juga penawaran itu.

Sesampainya di rumah, ayahku kedatangan tamu rupanya. Namanya Pak Agus. Bagiku orang itu agak aneh, penuh kesan... mistik. Yah, bukan yang berbau klenik seperti itu, tapi ia mempercayai adanya kekuatan kosmik. Aku dan ayahku diajari bagaimana caranya mentransfer energi kosmik, bagaimana caranya memakai energi itu untuk menyembuhkan diri, dan sebagainya. Aku sebenarnya kurang percaya karena aku tak merasakan perubahan yang berarti. Tapi sekear basa-basi saja, aku berbohong. Aku bilang bahwa aku merasakan sensasi yang berbeda. Lain halnya dengan ayahku. Ayahku mengaku benar-benar merasakan adanya kekuatan itu. Lucunya, orang itu bilang aku memiliki bakat untuk meramal. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

Namun, kehadiran orang ini benar-benar membuatku tersenyum. Mengapa tidak? Pak Agus tiba-tiba saja meminjamkan uang kepada ayahku untuk membayar angsuran koperasi! Aku tak menduga. Lebih-lebih ayahku. Ayahku begitu lemas... terharu. Tak menyangka akan ada pertolong dari Allah, dengan cara yang tak dapat kami nalar. Padahal aku sudah psrah, aku yakin bahwa motorku itu akan diambil oleh orang koperasi. Tapi nyatanya tidak. Aku tak dapat memahami, betapa indahnya karunia Tuhan itu. Aku tersenyum, dan merasa perlu menarik kembali semua kata-kataku yang mengandung keputusasaan...

Terima kasih untuk Allah, untuk semua orang yang telah memberi kami kekuatan. Semoga kami dapat senantiasa tegar dan kuat..

I'll be Fine

Itu hal yang aku tekankan pada diriku sendiri. Setidaknya, itulah harapanku. Aku akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan berjalan lancar. Aku tak perlu menyesali apapun ataupun merasa rendah diri. Semua akan berakhir bahagia.

Tetapi...

Benarkah demikian?? Kelihatannya sekarang mungkin akan baik-baik saja. Tapi aku tak tahu masa depan. Terutama tentang pernikahan. Aku tak mau mengulangi kegagalan orang tuaku. Aku ingin bersama suamiku, tanpa pertengkaran yang berarti, apalagi perceraian. Tidak, aku tak boleh bercerai jika aku sudah menikah kelak. Karena jika aku bercerai, sama saja aku mengulangi kegagalan orang tuaku.

Siapa yang tidak menginginkan pasangan hidup yang selalu berada di sisi kita, menemani dalam suka-duka, dan menyayangi kita dengan setulus hati? Tak ada orang waras yang tidak menginginkan hal itu. Begitu pula aku. Walaupun aku kurang waras, aku juga menginginkannya. Aku pikir aku menemukan jawabannya pada diri Hanif. Aku begitu percaya padanya, dia akan selalu menyayangiku dan tak akan pernah meninggalkanku.

Namun, seberapa lamakah cinta itu bisa bertahan?? Di era yang serba sulit dan ambigu ini, degenerasi moral, apakah seorang manusia tetap bisa bertahan (dengan prinsipnya)? Nonsens! Tak akan ada yang bisa, kecuali orang itu memang tak pernah mengabdikan hidup pada fana dunia. Sayangnya, aku bukan orang yang seperti itu. Aku pikir Hanif pun juga tidak. Kami adalah orang yang terlalu mencintai dunia ini.

Yang aku khawatirkan, bagaimana jika aku ataupun Hanif tak bisa lagi bertahan dengan prinsip (cinta) kami. Ya, aku benar-benar mengkhawatirkannya. Konyol memang, tetapi aku mengharapkannya sebagai pasangan hidupku. Dia sendiri berjanji seperti itu. Aku tak tahu apakah janji itu bisa bertahan melawan dinginnya keangkuhan zaman. Tak tahu. Tapi, boleh kan aku berharap?

Ahahahahaa... Aku tak menyangka aku sekonyol ini. Untuk apa aku mengkhawatirkan hal itu??? Jodoh ada di tangan Tuhan, bukan aku yang berhak memilah-milih pasanganku nanti. Semua rahasia Tuhan itu indah, bukan?

Hanya saja, bagaimana jika Tuhan menghukumku? Aku lalai sebagai hambaNya. Aku tak pernah menghiraukanNya. Mungkin saat ini Tuhan tengah memberiku kenikmatan-kenikmatan agar aku tambah lengah. Hingga suatu saat nanti Tuhan menurunkan siksanya untukku: siksaan mental. Kesedihan dan kesepian yang terlalu dingin.

Mengapa aku berkata demikian?? Apakah aku putus asa? Aku harap tidak. Aku hanya ingin mengungkapkan semua perasaanku, pikiranku tentang masa depan. Aku takut tak ada laki-laki yang mau menerimaku. Aku memiliki penyakit, yang tidak akan bisa ditoleransi oleh laki-laki manapun. Selama ini aku menutup-nutupinya. Tak ada yang tahu. Keluargaku pun tidak. Aku berpikir, "I'll be fine." Suatu saat penyakitku ini akan sembuh. Kalaupun tidak, aku akan mengumpulkan uang untuk berobat.

Kini, aku rasa aku harus membuang pikiran itu. Untuk makan saja aku berhutang, apalagi untuk berobat??? Biar aku kerja seperti apa, mengajar les privat sampai ambruk juga, tidak akan terbayar. Aku pusing memikirkan hutang-hutangku itu. Entah bagaimana aku bisa melunasinya, aku hanya berharap Dia masih berbaik hati untuk menolongku keluar dari kesulitan ini.

Dan... jika seandainya, ada seorang laki-laki akan melamarku kelak, aku akan jujur padanya. Aku akan beritahu semua tentang penyakitku. Dia mau teima atau tidak, aku akan pasrah. Jika saja Hanif benar-benar melamarku, apakah aku harus jujur? Bagaimana jika dia tidak mau terima? Lalu meninggalkanku? Aku terlalu menyayanginya. Dan aku tidak tahu bagaimana nanti jika dia benar-benar meninggalkanku.

I'll be fine. My illness will be cured. I hope so.

 

Pecundang Kelas Kakap

Itulah aku. Aku tak memiliki bakat untuk menang. Sudah berapa kali aku ikut lomba? Lumayan banyak. Dan tak ada satupun yang menang. Biasanya aku tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Menang atau kalah bagiku sama saja. Tapi kali ini tidak. Aku merasa ditelanjangi.

Hari ini, timku untuk Lomba KIR dipanggil ke Diknas kabupaten Mojokerto. Teman-teman setimku sangat antusias dan yakin bisa menang. Mereka bisa berkata seperti itu karena yakin dengan puisiku yang, yah.. katanya sih bagus. Aku tak begitu memperhatikan karena menurutku, puisiku tak ada apa-apanya. Aku berusaha untuk tetap merendah.

Tapi aku tak berdaya dengan pujian itu. Aku merasa.. agak besar kepala. Aku pun menjadi yakin kami menang. Apalagi kata teman kami yang menjadi salah satu panitia, juri-juri tertarik dengan puisiku. Aku pun makin berbesar hati, jika tak mau dibilang berbesar kepala. Aku merasa dan sangat yakin bisa menang.

Nyatanya? Inilah hukuman Tuhan padaku. Makanya jangan besar kepala, mungkin itu yang ingin dikatakanNya. Kami tak menang. Tak satupun tim dari sekolahku menang. Dan kami pun tak bisa menahan diri untuk tidak iri. Adik kelasku malah tak henti-hentinya membuat kami malu dengan menyoraki para pemenang dengan nada sinis. Semakin memperkuat peribahasa tong kososng nyaring bunyinya. Aku benar-benar malu. Bahkan untuk bidang yang aku sukai aku pun tak dapat menang. Padahal aku begitu yakin dengan kemampuanku berpuisi. Ah, mungkin aku memang dilahirkan untuk jadi pecundang.

Apakah akan ada peristiwa lain lagi yang ingin menguatkan bahwa aku ini memang pecundang??

Bimbang

Bahkan untuk menulis judul blog ini saja aku harus banyak berpikir. Tapi setidaknya satu kata ini mewakili diriku: bimbang. Betapa indah kata itu! Hahaha... aku mulai gila lagi rupanya. Betapa pesimisnya hidupku ini...

Apakah kalian tahu, aku telah mebuat suatu kesalahan yang memalukan? Baiklah, ini mungkin bukan kesalahan yang fatal dan mungkin aku telah membesar-besarkannya. Pangkal kesalahan ini adalah komentar yang diberikan seseorang untuk blogku. Dia menyuruhku untuk membuka blognya. Kalian dapat melihatnya di clarabukanaku.blogspot.com. Aku telah salah mengira kakakku adalah orang yang aku harapkan untuk bertemu. Maafkan aku, kakak.. Aku bukannya tidak mengenali kakak lagi... Aku pikir kakak adalah orang yang... aku rindukan. Bukannya aku tak rindu kakak. Aku juga rindu dengan kakak. Tetapi masih ada seorang lagi, dari sekian banyak yang aku rindukan, seorang yang sangat ingin aku temui.

Sejak melihat tulisan di blog kakakku (yang aku pikir adalah orang lain), aku terus gelisah. Apalagi aku sedang sakit, aku tak bisa tidur nyenyak. Aku telah banyak berkhayal rupanya. Sampai-sampai salah mengira si penulis blog itu adalah lelaki yang aku rindukan itu! Memalukan... Aku terlalu yakin aku dapat bertemu dengan laki-laki itu. Tetapi kenyataannya?? Tidak mungkin!! Kejadian ini semakin membukakan mataku bahwa aku takkan pernah bertemu lagi dengan laki-laki itu. Aku tak ditakdirkan untuk bertemu lagi dengannya. Aku mulai mencoba untuk membuang semua khayalan indahku tentangnya, tentang apa yang akan aku lakukan jika aku benar-benar bertemu dengannya. Ya, aku akan memberitahunya tentang perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Aku tak mengharapkan dia akan membalasnya, tetapi cukuplah bagiku untuk dia ketahui apa perasaanku yang sebenarnya. Syukur-syukur jika dia masih mau berteman denganku.

Di tengah rasa bimbang ini, aku merasa... betapa besar lukaku ini. Masa lalu masih mengintai diriku. Tapi aku menikmatinya. Bahkan aku tak ingin melupakan masa laluku yang pahit itu. Aku ingin mengecap pahitnya, demi menikmati manisnya kenangan masa kecilku. Tapi... aku pun mempertimbangkan, bagaimana jika orang yang aku harapkan bisa mengerti aku (seperti suamiku misalnya), justru tidak dapat mengerti??? Bisa saja dia menganggapku tak mencintainya, atau berkhianat padanya dengan terus-terusan berharap pada laki-laki yang bahkan aku tak tahu alamat rumahnya. Aku akan meluruskan, di blog ini, bahwa betapa aku merindukan laki-laki itu, dia tetaplah kenangan manis yang takkan mempengaruhi kasih sayang serta cintaku pada orang-orang yang ada di masa kini dan masa yang akan datang. Betapapun aku merindukannya, takkan mengurangi kasih sayangku pada... katakanlah kini pacarku. Kasih sayangku padanya takkan berkurang hanya gara-gara aku rindu pada laki-laki masa laluku. Begitu juga jika aku memiliki suami nantinya. Aku akan tetap mencintai dan setia pada suamiku, mesti hatiku menyisakan tempat untuk semua kenangan manisku, termasuk laki-laki itu.

Inilah pernyataanku tentang hatiku. Aku konsisten, bukan maniak laki-laki. Jika ada yang menuduhku begitu, aku akan membunuh mentalnya.

Tetapi... apakah aku berlebihan jika aku berharap untuk dapat bertemu lagi dengan laki-laki itu??? Aku hanya ingin menyatakan kebenaran padanya, isi hatiku tentangnya. Aku ingin memintanya menjadi temanku, sahabatku. Tak lebih. Aku tak berharap yang lain. Aku pikir ini bukanlah permintaan yang muluk, bukan??? Atau Tuhan telah bosan mendengar doa-doa dari seorang pendosa ini??? Apa aku terlalu banyak meminta, sehingga Tuhan muak mendengarnya??? Oh, entah... Luka ini membuatku semakin menikmati pesimisme hidup.

Semua Kejadian Selalu Ada Hikmahnya

Itulah yang dikatakan Sora-chan kepadaku, saat orang tuaku bertengkar dan menyebabkan aku berpisah dengan adik dan ibuku. Waktu itu aku tak memperhatikan kata-kata itu. Tapi, kini aku benar-benar merasakannya...

Hari MInggu (31 November 2008), ada seseoraang yang mengajakku kenalan via sms. Aku sebenarnya malas meladeni ornag-orang iseng seperti itu. Dan dia sangat mengganggu karena dia meneleponku saat aku tengah tidur siang. Karena kesal, aku bilang kalau aku sudah punya suami (!) ^^ Walhasil, dia tak mengangguku. Tapi, ada nomor lain yang menghjubungiku. Aku pikir itu adalah dia atau orang lain yang sama isengnya dengan dia. Makanya aku tak menghiraukan.

Esoknya, (1 Desember 2008) ibuku datang ke sekolahku pada jam istirahat. Aku benar-benar kaget. Tahun-tahun lalu, aku pernah mengalami hal ini dan waktu itu aku takut sekali jika ayhku tahu ibuku mengunjungiku. Tapi, enath, aku kali ini tak merasa takut. Aku rindu... Dan begitu pula dengan ibuku. Ternyata, tak seperti bayanganku selama ini, ibuku tak marah padaku. Malah makin sayang padaku (apa cuma perasaanku saja yah?). Dan aku juga lebih sayang pada ibuku. Hikmah pertama dari kejadian buruk waktu itu: aku jadi lebih sayang pada ibuku.Ibuku bilang, nenek kangen padaku. Aku harus merelakan foto-fotoku dan Hanif dibawa ibuku untuk ditunjukkan kepada nenek. Sebelum ibuku pamit pulang, kami menangis. Aku masih menangis ketika masuk ke kelas. Teman-temanku memberiku support dengan mengatakan bahwa aku harus tetap sabar. Makanya aku segera menyeka air mataku dan kembali seperti biasa. Ya, aku harus tegar...

Malamnya, ibuku meneleponku. Aku sangat bersyukur karena ayahku tak marah atau ebrusaha menghalangi aku dan ibuku untuk tetap saling berkomunikasi. Ibuku sepertinya sangat mengkhawatirkanku. Aku mengatakan pada beliau bahwa aku baik-baik saja. Adikku pun bilang bahwa dia kangen padaku. Dia memanggilku "kakak" padahal dia jarang sekali memanggilku dengan panggilan itu. Dulu, ketika kami masih bersama, dia hanya memanggilku dengan namaku saja., tanpa embel-embel "kakak". Walaupun aku telah terbiasa dan tak keberatan dengan hal itu, entah mengapa aku merasa begitu terenyuh ketika dia memanggilku "kakak". Hikmah kedua: hubunganku dan adikku jadi lebih akrab. Aku tak pernah merasa sebahagia ini menjadi seorang kakak.

Hari ini, aku sakit tenggorokan. Benar-benar mengganggu. aku berusaha untuk tetap bertahan hingga jam pelajaran berakhir. Oh, ya.. Aku lupa. Waktu pelajaran ECC, kami mendapat tugas untuk menceritakan tempat atau objek wisata yang ingin kami kunjungi berserta alasannya. aku yang sudah kepayahan karena sakit, mencoba membuta suatu cerita. hasilnya, aku maju ke dapan dan menceritakan tentang Bekasi. Ya, aku ingin pulang kembali ke Bekasi. Inti dari ceritaku: I just want to back home, even just once in whole of my life, before I die. Payahnya, aku hampir menangis ketika menceritakan hal itu. Teman-teman jadi memperhatikanku. Terbukti mereka menanyaiku macam-macam hal tentang Bekasi, bahkan ada yang bertanya tentang the sweetest experience that I've got in Bekasi. Aku jadi terharu. Tak pernah aku merasaa begitu diperhatikan oleh teman-temanku.

Begitu bel pulang berbunyi, aku segera pulang. Ayahku sudah standby di depan sekolahku. Ayah benar-benar khawatir. Sebenarnya, aku masih harus mengikuti bimbingan belajar intensif UAn di sekolah saat pulang sekolah. Tapi karena aku sakit, aku benar-benar payah dan tak sanggup bertahan lebih lama di sekolah. Sesampainya di rumah, kami langsung makan siang. Sambil makan, aku menyampaikan amanah ibuku: ibuku ingin bicara dengan ayahku. Tetapi ayahku merasa tak aada yang perlu dibicarakan lagi. Aku hanya terdiam. Sehabis makan aku segera minum obat dan tidur siang.

Sekitar jam tiga siang, aku terbangun karena ada telepon masuk. Ternyata adikku sudah ada di depan rumah. Aku masih pusing dan linglung ketika membukakan pintu untuk adikku. Dia banyak berubah, tak setampan dulu. Tapi matanya tampak sayu dan pasrah.. Aku membangunkan ayahku dan segera masuk kamar. Sebelum aku benar-benar tertidur, aku masih bisa mendengar ayahku "menasihati' adikku. Ayah hanya berpesan: mudah-mudah adikku tak terlambat untuk sadar. Aku dapat mengerti maksudnya: mudah-mudahan adikku segera berpikir dewasa dan bisa berpikir lebih jernih agar tak terseret emosi semata. Tapi entah adikku bisa menerimanya atau tidak.

Aku tahu adikku menangis. Aku dapat mengerti perasaannya. Namun aku berharap, masih ada hikmah yang lain untuk kami semua. Rencana Tuhan memang indah...

 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates