Dunia Ini Gak Adil

Dunia ini gak adil.

Kira-kira begitulah dialog dalam sinetron, atau kalimat pembuka sebuah cerpen/novel remaja.

Orang-orang yang hatinya sedang berbahagia, mungkin cuma ketawa aja.

Sementara orang yang galau kebagian peran nangis bombay baca kalimat itu.

Berlebihan atau tidak, pertanyaannya cuma satu: relevankah kalimat itu bagi Anda?

Kalau buatku sendiri, kadang relevan, kadang juga engga.

Sebulan yang lalu sih gak relevan. Gimana engga, kerja part time aja bisa ngelunasin semua hutang dan beli hape baru. Belom lagi punya pacar yang ga ngitung lingkar dada eke. Oke, salah fokus. Maksudnya, baik hati dan perhatian. Gitu.

Tapi sekarang? Relevan amiiir!!

Pertama, proyek tempat aku kerja part time udah selesai. Duitnya juga udah abis. Terlepas dari boros apa engga, yang jelas uang itu berbuah kata “lunas” bagi semua hutangku. Dan hal-hal lain yang ga perlu disebutkan secara detil. Pamali, gitu.

Pacar saya, yang secara umur dan pengalaman jauh lebih bijaksana, mutusin aku pas hari lebaran. Berusaha gak pake sedih sih, kan haram. Tapi, berhubung satu dengan yg lainnya, tetep aja nangis. Semoga Tuhan mengampuni.

Alesan mutusin? Biyasa. Itu loh, kata-kata sakti ala anak muda jaman sekarang itu loh. “Kamu terlalu baik bagiku” ceileh. Gak pernah nyangka kata-kata itu akan sampai padaku. Cuma ya bedanya diucapin dalam Bahasa Jepang, pake acara bertele-tele pula.

Kemudian, dan semoga yang terakhir aja sih, aku sekarang jobless. Moneyless, boyfriendless, jobless. Hua, bisa dijadiin slogan baru itu. Kan, salah fokus lagi.

Alesan jobless? Sederhana. Kelewat percaya sama janji. Dijanjikan kerja di sebuah perusahaan. Tapi setelah proyek pertama selesai, ga ada follow up nya. Nunggu sampai nyerah. Akhirnya ya udah, mari kita lupakan. Eh udah kadung gua dapet proyekan kedua, akhirnya perusahaan pertama telpon, mau gak jadi pegawai tetap di sana. Tapi ya proyekan kedua lagi jalan, gak mungkin juga mundur tengah jalan. Mungkin aja sih, tapi udah kadung akrab (dan kadung jadian pula) sama klien saya. Akhirnya aku tolak secara halus.

Terus perusahaan kedua (kantornya si akang) juga sering banget bilang mau gak kerja di situ, minta gaji berapa, dsb. Dijanjiin mau diberangkatin ke Nippon pula. Tapi ya, keulang lagi. Ga ada follow up nya. Berusaha untuk lepas dari php-zone, akhirnya aku beraniin diri untuk konfirmasi. Dan… cabang mereka yang di Jakarta katanya ga butuh interpreter. Pada dasarnya mereka butuh sarjana teknik. Iyalah, perusahaan mesin. Demikian.

Mungkin sebelum lahir ke dunia saya emang ditakdirkan kebagian peran korban php -.-

Tapi ya, sebenernya itu gak bisa jadi alesan sih.

Kalo mau liat dari sisi positif, positif yang ekstrim tapi, harusnya ya aku gak usah nunggu janji itu terealisasi. Maju, cari yang lain. Mana yang cepat menerima saya, ya itu yang dipilih. Harusnya.

Tapi, kalo mau melihat dari sisi menengah positif, ya gak salah kalo aku nunggu. Kan dijanjiin. Aku juga udah kasih minat. Tinggal realisasinya aja kan. Ya tapi udahlah, aku gak akan menuntut apapun atas janji yang gak pernah terealisasi. Duilah, kenapa juga aku terlalu baik jadi korban php.

Tapi kalo mau liat dari sisi positif yang sedikit transeden, mungkin emang bukan rejekiku. Perusahaan pertama, di tengah-tengah masa tunggu, entah kenapa aku jadi kehilangan minat. Aku meragukan passionku bekerja di situ. Does my passion belong to that company? Haruskan aku kerja di tempat yg gak bisa menumbuhkan passionku? Yah, okelah masih terlalu dini buat ngomongin hal itu. Belum nyoba kerja juga. Tapi entahlah, rasanya ada sesuatu yg ga pas.

Perusahaan kedua, ya jelas-jelas mereka gak butuh interpreter kan. Sudah titik. Gak ada penjelasan lain.

Mungkin ada rejeki di tempat lain.

Tapi, gak setiap hari aku bisa menjaga pikiran positif macam ini.

Buka akun socmed, liat temen update soal kerjaan, rasanya rada iri gitu. Nonton dorama, tentang perjuangan anak muda, tentang keluarga, tentang ibu, rasanya hati kayak dihantam palu. Orang di luar sana berjuang membahagiakan keluarganya, ibunya. Aku ? masih aja dikirimin duit hasil jerih payah Mama. Setiap kali aku makan keripik kentang buatan Mama, spesial impor dari Padang sono, rasanya nyesek. Dulu Mama selalu mengiris kentang tipis-tipis, enak dan renyah. Tapi sekarang, tebelnya beda-beda. Masih inget aku dulu Mama pake kacamata bekas Papa yang rusak, gagang sebelahnya patah, dan entah minus nya sama apa engga sama Mama. Gak ada pilihan lain. Mata Mama udah tua, beli kacamata waktu itu rasanya gak sanggup. Iya, Mama sudah semakin tua. Temen dan kerabat lain seumuranku udah bisa kasih orang tuanya penghidupan dan cucu. Aku ? gak dua-duanya. Belum.

Yang paling bikin aku marah adalah ijazahku. Tertulis, lulus dengan pujian. Piagam yang menyebutkan aku lulusan terbaik Sastra Jepang periode wisudawan Maret tahun ini pun aku taruh entah di mana. Gak peduli sudah.

Nilai, IPK, pujian, mendadak jadi gak ada artinya lagi buatku.

Sertifikat NS yang aku bangga-banggakan, mendadak jadi sumber malu.

Sebab, harusnya semua itu bisa menjamin kehidupan yang lebih layak dan stabil buatku. Tapi sekarang ? Aku pengangguran. Bahan tertawaan orang.

Aku gak pernah menyangka frustasi pasca lulus akan datang padaku saat ini.

Mungkin itu semua pertanda kalau aku terlalu sombong. Harusnya ya aku terima saja apa yang ada. Kerja yang rajin, kumpulin uang buat keluarga di sana. Cari kenalan, menikah dengan orang baik-baik. Kasih cucu sebelum kedua orang tuaku meninggal.

Semua itu terhalang oleh rasa gengsi dan over-confidence.

Emang, aku ga pernah bermaksud memamerkan prestasi. Aku bukan tipe orang yang akan membahas berapa nilaiku kalau tidak ditanya sama yang berkepentingan. Tapi, menolak suatu tawaran kerja juga salah satu bentuk over-confidence, kan? Di saat orang susah-susah melamar kerja, aku malah menolak tawaran. Bodoh loh ya.

Nasi udah jadi bubur. Sekarang waktunya move on.

Tapi, di saat aku mencoba lebih realistis, selalu muncul kata-kata dalam pikiranku, “Tunggu dulu. Mari kita tunggu kesempatan yang lebih baik”

Manis emang. Aku mau aja nunggu. Cuma ya, sampai kapan? Apa aku harus mengulang kesalahan orang yang cuma duduk menunggu keajaiban? Engga kan? Aku harus menjemput keajaiban itu.

Aku bingung sama diriku sendiri. Kenapa sih susah sekali untuk jadi lebih berani mengambil risiko?

Kenapa sih aku harus jadi pemilih?

Kalau juga selama ini passion yang selalu aku jadikan alasan untuk memilih pekerjaan, apa benar aku punya passion? Emangnya hal apa yang ingin aku lakukan?

Kalau udah mikir gini aku pasti bakal marah-marah sendiri sama diriku. Kata-kata „dunia ini gak adil“ jadi begitu relevan buatku.

Cuma ya, berdiam diri di sini juga gak menghasilkan apapun.

Akhirnya aku berusaha keluar dari kamarku. Itu hal pertama yang harus aku lakukan. Hasilnya, kemarin aku bertemu dengan Pak Dekan.

Aku disarankan jadi asisten dosen di sana.

Wacana ini sebenernya udah ada sejak lama. Sejak aku baru dinyatakan lolos tes seleksi PMDK-UNAIR, Pak Ari menyarankan agar aku jadi dosen di FIB.

Dosen di Sastra Jepang juga sudah pernah menanyakan, apakah aku minat mengajar. Aku sudah berikan jawaban. Tapi ga ada follow up. Di saat seperti ini aku Cuma bisa bingung. Harusnya aku mengkonfirmasi atau menunggu? Aku minta pendapat dosen lainnya. Beliau bilang lebih baik menunggu, karena kalau aku yang maju ke sana, emangnya aku ini siapa.

Dan sekali lagi, wacana ini muncul. Dan sekarang aku menunggu. Kenapa juga aku gak kapok-kapok menunggu?

Setiap hari ketika aku bangun, aku merasa hampa. Harus ya aku menjalani hidup tanpa aktivitas yang berarti?

Harus ya aku mengikuti naluri semata?

Entah. Bingung.

Baiklah, aku harus mengakui kalau aku mengharapkan kepastian dari kampus. Hanya saja kali ini, aku gak mau cuma berdiam diri.

Jadi, kali ini aku mau coba apply part time job. Malam ini juga. Memang, waktu eksekusinya masih lama, masih bulan Oktober. Dan, memang ada wacana kalau ada kemungkinan proyek dari kantor si akang bakal dilaksanakan antara Oktober atau November. Ada kemungkinan mereka membutuhkan interpreter lagi. Tapi ya, aku gak harus selamanya bergantung pada wacana. Aku yang harus membuat wacana. Aku yang harus mengejar kesempatan itu sendiri.

Aku gak mau selamanya terjebak dalam peran yang merasa dunia ini gak adil.

Oh ya, ngomongin soal itu, aku sadar kalau sebenarnya aku punya passion. Aku ingin terlibat dalam misi membuat dunia jadi lebih baik. Entah itu jadi volunteer, panitia untuk acara sosial, atau staff organisasi sosial dalam skala internasional.

Cuma, aku kadang merasa mustahil, kurang kompeten untuk hal-hal semacam itu.

Tapi ya, aku berharap suatu saat aku punya keberanian dan kesempatan untuk mewujudkan passion itu.

Semoga.



Pekerjaan Impian

Jadi, ehm, udah sebulan lebih sejak lulus dan saya belum dapet pekerjaan yang tetap. Pekerjaan sebagai interpreter beberapa waktu lalu sangat menyenangkan dan menjadi pengalaman yang baik. Waktu itu, jujur aku merasa sangat lelah sampai-sampai berniat untuk istirahat dulu sebelum lanjut mencari kerja.

Yah, mungkin itu cuma salah satu alasan aja untuk ngga segera bergiat mencari kerja. Aku masih pingin main. Aku ngga mau jadi orang dewasa. Ngga siap memikul tanggung jawab. Lagipula, aku ngga bisa membayangkan diriku duduk manis di dalam kantor, mengenakan seragam, ikut meeting yang mengharuskan tata tertib santun dan sebagainya... No, I can't. I want to be free. Aku lebih suka pekerjaan lapangan dan ketemu banyak orang. Biarpun capek, tapi menurutku masih lebih mending daripada duduk seharian depan komputer. No. Terus pakai seragam kantor. Lebih no lagi.

Pernah, beberapa waktu lalu, pas Tomokiyo-sensei lagi berkunjung ke Surabaya, aku ditanyai beliau, "Cha-san ingin kerja apa?"

Jujur, aku paling ngga suka sama pertanyaan ini. Kenapa sih semua orang tanya itu mulu? Dulu Kamiya-san, bosnya Yudiah juga tanya gitu. Numakawa-san, bosnya Alfi, juga tanya gitu. Dan Putri-sensei. Dan Adis-sensei. Dan Jo-san. Dan Suzuki-san. Dan Anna. Duuuuh!!

Satu-satunya alasan aku ngga suka ditanyai begitu adalah: karena aku ngga tau mau kerja apa. Aku sebal ditanyai pertanyaan yang jelas-jelas aku ngga bisa jawab. Dan pertanyaan ini menyebalkan, selevel dengan pertanyaan zaman waktu kecil dulu, "cita-citanya apa?" aku ngga punya cita-cita khusus. Iyah, pernah bercita-cita jadi penulis. Tapi entah, mungkin aku tak berbakat.

Oke, balik lagi ke Tomokiyo-sensei. Waktu ditanyai begitu, sambil mengunyah irisan bawang bombay berlumur Thousand Island yang super maknyus itu, aku jawab "pokoknya yang ngga (menuntut) pakai seragam"

Tomokiyo-sensei tergelak. Pasti dia menganggapku anak kecil. Yang kawaii. Seperti kentang. Aku emang kawaii potato.

Baru kali ini aku menjawab dengan jujur. Waktu ditanyai Kamiya-san, dan yang lainnya, aku jawab "Apa saja. Saya ingin cari banyak pengalaman" terus mereka kagum gitu donk. Entah beneran kagum atau cuma basa-basi. Katanya, "Hebat, ya. Dewasa sekali"

Tapi ya, itu jawabannya diplomatis aja sih. Setengah bener setengah bohong. Bener, karena aku gatau mau kerja apa dan aku sadar aku ga boleh terlalu pilih-pilih kerjaan. Apa aja penting halal dan mencukupi. Bohong, karena ngga "semua pengalaman" ingin kupelajari. Aku ngga akan pernah mau disuruh kelola uang misalnya. Atau disuruh belajar bisnis. Atau marketing. No. Gakmau. Kan udah aku bilang aku sukanya kerjaan lapangan dan ngobrol sama banyak orang! Tuh kan, ujung-ujungnya  pemilih juga bah.

Seminggu lebih aku tanpa kerjaan yang pasti. Selama seminggu itu juga aku semacam menderita gejala galau udah-lulus-mau-kerja-apa. Merasa tenang, karena setidaknya untuk bulan ini ngga terlalu luntang-lantung dan aku punya waktu untuk mengembangkan hobiku. Merasa agak bersalah, karena masih belum bisa sepenuhnya mandiri dan ngga merepoti orang tua. Di saat orang lain susah payah cari kerja, aku malah seenak bodong tidur-tiduran di kamar kos.

Tapi, Allah memang Maha Baik. Akhirnya aku dapat inspirasi mau kerja apa.

Aku pingin kerja di perusahaan atau industri yang berhubungan dengan musik.

Lebih spesifiknya lagi, Yamaha Music Indonesia.

Lebih spesifik lagu? Yamaha Music Indonesia Jakarta. Kenapa? Karena kata Dida, kalau string instrument adanya di Jakarta. Yap, aku ingin kerja di mana aku bisa berhubungan dengan biola.

Jadi, inspirasi ini berawal dari keinginan untuk bisa main biola. Itu cita-citaku sejak SMA. Aku pingin bisa main alat musik, terutama piano/keybiard dan biola. Tapi ya karena piano itu butuh banyak ruang, aku memutuskan untuk mencoba biola dulu. Di tempatku les vokal juga ada kelas untuk biola. Biayanya relatif murah menurutku. Sekarang aku sedang berusaha agar bisa mendapatkan biola. Iseng punya iseng, coba tanya sama Dida yang kerja di Yamaha Music Indonesia Pasuruan, kira-kira apa Yamaha Music ada produk biola standar apa ngga. Abis kalau googling, ngga ada jawaban yang memuaskan, kira-kira biola standar yang pas untuk pemula itu apa. Begitu aku tanya soal biola, dia bilang kurang tahu karena tempatnya dia kebanyakan alat musik tiup seperti saxophone, flute, dan lainnya. Dia bilang, kalau biola mungkin di Jakarta. Dan.. ting! Masuklah inspirasi itu. Aku sampai gemetaran, saking excited nya. Belum pernah aku merasa begitu excited soal pekerjaan. Untuk pertama kalinya, aku memasang target untuk pekerjaanku.

Aku langsung coba cari tahu apa ada lowongan di Yamaha Music Indonesia. Ya, ada. Sayangnya aku belum memenuhi kualifikasi itu. Tapi tak apa, aku coba cara lain. Ya harus donk!

Oke, sekarang aku punya target. Ini dia tantangan yang aku tunggu. Jadi, mulai malam ini mari kita selesaikan quest ini.

Wish me luck!




Belanja Buku

Halo, lagi. Mm, kali ini bukan karena bosan makanya aku menulis, tapi karena... mulai tergugah untuk menulis lagi. Setengah termotivasi, setengah kesepian. Mbak Mega pulang kampung, siapa lagi yang bisa diajak ngobrol? Ternyata meskipun punya uang dan waktu, tapi kalau tak ada teman rasanya tetap saja sepi dan tak menyenangkan.

Oke, karena berlarut-larut dalam kesepian itu tak baik bagi kesehatan, maka aku memutuskan untuk jalan-jalan keluar. Hari ini memang berniat ke Petra Togamas, mau ke sanggar Solado Voice. Yah, mau sekedar survey dulu. Aku memang niat ingin ikut bina vokalia. Yah, semacam cari kegiatan yang positif. Mama juga setuju. Meskipun aku malu mengakui hal ini, tapi aku pingin sedikitnya agak lebih pede kalau sewaktu-waktu diajak karaoke. Selama ini aku cuma jadi seksi PU a.k.a Penggembira Umum aja kalau di ruang karaoke. Itu loh, yang bagian kincring-kincring terus nanti ada lampunya warna-warni tiap kali dipukul. Norak sih, tapi masih kurang memalukan dibandingkan suaraku yang merdunya bisa bikin ikan paus keguguran.

Niat utamanya sih survey sanggar dulu. Tapi yah, emang salah sih itu sanggar. Kenapa di pertokoan Togamas sih. Kan tujuannya jadi bias hehe... Iya, sebenernya bisa aja sih aku sms atau via telepon aja kalau cuma mau sekedar tanya jam latihan dan biaya kursus. Tapi emang dasar aku sih, kalau toko buku aja dijabanin!

Cuma hari ini aku akuin, keterlaluan. Aku pergi ke dua toko buku yang berbeda, yang berakibat pada belanja buku berlebihan. Awalnya sih kecelakaan, gara-gara waktu naik angkot aku duduk di belakang, dan emang sialan ya punya badan tinggi, aku ngga bisa ngeliat keluar kalau ngga nunduk. How long I supposed to bend my neck just for seeking my destination? Sakit juga kali nunduk terus-terusan. Udah juga capek-capek nunduk, eh malah kelewatan. Jauh malah. Hampir ke Rumah Buku. Dan yah, karena udah terlanjur, ya akhirnya aku mampir sebentar ke Rumah Buku. Alasannya sih pingin nyari bukunya Romo Mangunwijaya, Burung-burung Manyar yang aku suka banget itu. Sebenernya bisa aja sih langsung tanya ke pegawainya, kira-kira buku itu ada apa ngga. Tapi toh ujung-ujungnya aku malah asyik cuci mata di corner buku-buku diskon, yang berakibat beli tiga buku yang kebetulan tidak mengandung unsur "burung" ataupun "manyar" pada judulnya.

First, They Killed My Father by Loung Ung, A Lucky Child by Thomas Buergenthal, dan The Soloist by Steve Lopez. Dua pertama aku pilih karena berteman trauma pasca perang. Yah, bukan maniak sejarah juga sih (kecuali sejarah yang berhubungan dengan seni atau simbologi, pasti aku lahap dah) tapi menurutku better lah ketimbangan teenlit cinta monyet gitu. Oh ya, ngomong-ngomong soal teenlit, jujur aku hampir muntab begitu masuk toko buku yang satu itu. Di rak-rak utama mereka kebanyakan teenlit! Yah, bukannya mau bilang teenlit itu jelek atau gimana, cuma emang bukan seleraku. Emang sih ga perlu juga sampai kesal, tapi menurutku kenapa juga bukan buku-buku berbobot yang dipajang di tengah? Oke, berarti selera pasar zaman sekarang sukanya yang cintacintaan gitu yah. Bosen.

Buku ketiga, The Soloist, sebenarnya gambling juga sih. Aku ngga terlalu yakin buku ini bisa memikatku sebagaimana Tokyo Zodiac Murder membuatku tergila-gila, tapi kayaknya aku pernah dengar judul ini entah di 9gag atau di mana. Yah, mereka menyebutkan judul film sih kalau ngga salah. Kalau emang udah dijadiin film, aku lebih suka nonton filmnya sebenarnya. Tapi yah tak ada salahnya juga coba baca bukunya. Tapi, ketiga buku ini masih masuk daftar pending dulu. Belum bisa aku baca sekarang, karena aku bertemu dengan buku "idolaku" yang dulu.

Nah, setelah puas belanja di Rumah Buku, akhirnya aku ke Petra Togamas. Kali ini aku duduk di depan, biar ngga kecelakaan lagi. Sampai di sana, aku langsung ke sanggar Solado dulu. Kalau ke toko bukunya dulu takut nanti malah kalap sampai sore hahaha... Di luar dugaan, sanggarnya kelihatan kecil. Tapi, tak apalah sepertinya. Biaya pendaftaran dan kursus per bulannya juga murah. Akhirnya aku mantap ingin belajar di situ. Cuma sayang, mereka ngga buka hari Minggu. Emang sih statusku sekarang masih pengangguran (yang menikmati hidup sekali hehe) dan aku bisa kapan saja les. Tapi misalnya sewaktu-waktu aku dapat kerjaan lagi, apa bisa bagi waktu? Akhirnya si mbaknya, Mbak Riris namanya, menyarankan aku untuk pikir-pikir dulu, sambil kasih selebaran dan nomor hp nya. Emang sih aku udah kebelet banget dan 90% mantap pingin belajar di sana, tapi emang lebih bijak kalau dipikir dulu.

Selesai survey, langsunglah aku naik ke lantai 2, ke toko buku. Beneran pingin nyari bukunya Romo kok, hehe. Dan... memang hanya Togamas yang tak mengkhianatiku. Di rak yang tertata rapi, ada beberapa eksemplar buku dambaanku itu. Covernya baru pula! Macam gadis mana yang tak senang? #apasih

Sebenarnya ada dua versi, yang satu sepertinya cetakan cukup lama, meskipun tidak selama versi awalnya dulu. Sayang aku ngga ambil fotonya tadi. Yang satunya ilustrasi kepala manusia yang tersusun dari potret burung-burung manyar. Sungguh berseni dan sastrawi sekali. Tapi kenapa harganya lebih mahal sepuluh ribuan ya? Akhirnya aku ambil yang ini, karena lebih murah tentunya hahaha

Cover yang ini indah sekali. bahkan bagian dalamnya juga ada ilustrasi burung kecil yang imut. Setiap satu bab berakhir menjelang bab berikutnya, pasti ada satu halaman ilustrasi ini. Lucu banget!

Ketemu buku ini, buru-buru aku ke kasir, minta disampuli bukunya, dan pulang. Pertama, karena pingin cepat-cepat baca. Kedua, aku takut kalap lagi T.T

Begitu sampai kos, aku langsung baca buku idolaku itu. Aku sangat bersyukur karena isinya tak berubah sama sekali. Aku agak takut sebenarnya dengan terbitan baru. Takut kalau isinya diubah atau bagaimana. Tapi untung aja ngga. Cuma, kali ini kok sepertinya aku kehilangan feel ya. Aku inget dulu begitu baca buku ini aku ketawa terbahak-bahak. That was my best laughter for all time. Mungkin belum sampai di bagian lucunya. Mungkin.

Oke, berhubung aku udah kepingin lanjut baca lagi, maka postingan ini aku akhiri sampai di sini dulu. Jelek banget sih emang cara endingku ini, tapi mau gimana lagi. Sampai jumpa di postingan berikutnya! :D


Diriku yang Menulis vs Diriku yang Tak Menulis

Mau bilang "halo!" tapi terlalu norak juga ya. Udah lama ngga nulis di sini. Lamaaaaa banget. Satu hal yang aku sadari: aku udah berubah. Udah bukan aku yang dulu suka (sekali) menulis.

Ini dia satu hal yang aku takutkan. Selama ini aku berpikir kalau diriku yang sebenarnya adalah "diriku yang menulis". Awalnya memang aku suka menulis. Aku ngga punya teman yang bisa aku ajak bicara. Makanya aku menulis diary ataupun blog. Aku masih inget hampir setiap hari aku menulis blog. Bahkan ketika aku ngga bisa konek internet, aku bela-belain tulis draftnya terus kusimpan di flash disk! Ya tuhan, aku mulai merasa sayang sekaligus kasihan pada diriku yang dulu hahaha...

Tapi, semakin lama aku jadi semakin "enggan" menulis. Entah sejak kapan aku merasa menulis di blog jadi begitu merepotkan. Aku mulai bosan. Ada suatu masa di mana aku "terpaksa" menulis blog, hanya karena supaya blogku tidak mati, atau memenuhi permintaan beberapa teman yang "kangen" dengan tulisan-tulisanku. Akhirnya, lama-lama aku merasa benar-benar bosan dan berhenti menulis. Buat apa menulis kalau terpaksa, begitulah alasanku. Dan akhirnya aku jadi memberikan pembenaran pada diriku sendiri, diriku yang kini tidak menulis.

Tapi (lagi)...

Toh malam ini aku menulis juga. Semata-mata hanya untuk mengusir kebosanan. Mengisi waktu luang yang terasa semaaaaakin banyak karena aku kini tidak punya tanggungan apapun lagi, selain diriku sendiri. Oh ya, aku sudah lulus S1 sekarang. Akhirnya. 28 Maret 2015 kemarin aku wisuda. Dan sambil mengetik ini aku merasa heran sekaligus kagum pada diriku yang bisa mengatakan hal seperti itu dengan entengnya. Semacam lupa beratnya perjuangan untuk merampungkan studi ini. Tapi ya, akhirnya aku memang merasa biasa saja. Tidak ada yang perlu diselebrasikan. Aku jadi merasa heran kenapa manusia suka sekali merayakan sesuatu. Padahal sesuatu yang simpel itu sebenarnya... indah.

Lalu, menjelang dan sesudah wisuda aku sempat kerja part time sebagai interpreter untuk sebuah pabrik spring di Gresik. Oke, aku ngga tahu istilah apa yang tepat untuk menggambarkan pekerjaan ini. I mean, penghasilannya cukup besar untuk kaliber "part time". Mungkin lebih besar dari pegawai tetap. Tapi yah memang aku bekerja hanya dalam waktu singkat saja, satu setengah bulan. Intinya, it was good and easy money. Oke, ini sombong. It was not so easy. Tiap hari aku berangkat jam 6 pagi dari kos ke Gresik, lalu pulang sampai kos sekitar jam 9-10 malam. Kerja tiap Senin sampai Sabtu. Meskipun aku naik mobil jemputan tetap saja aku vacancy shock. Istilah asbun ini, maksudnya saking padatnya kerjaan ini sampai-sampai aku merindukan hari libur di mana aku bisa bangun siang, tidur siang, dan tidur seharian. Tapi yayaya ini jadi pengalaman yang bagus buatku sebagai interpreter. Dan yah, sempat bertemu dengan seseorang yang... ngg... berkesan. Sangat berkesan. Yang membuatku kagum padanya. Sayang sudah berkeluarga. Tapi, berkat orang itu, aku jadi bisa memastikan kira-kira jodoh seperti apa yang aku mau. Ya, akhirnya.

Dan... ehm... sejak pertemuan dan perpisahan dengan orang itu, aku jadi terinspirasi untuk menulis lagi. Engga dink, belum ketemu inspirasinya, hanya saja mulai tergugah untuk menulis lagi. Puisi kah. Cerpen kah. Tapi kalau cerpen aku masih belum percaya diri. Mau nulis puisi pun rasanya... Belum ketemu kata-kata yang tepat.

Lalu aku sadar, ternyata kemampuan menulisku tumpul parah. Sedih, tapi tidak perlu disesali. Bisa saja, setelah ini aku termotivasi untuk mengasah kemampuanku, dengan teknik dan gaya yang baru, yang lebih baik, lebih anggun dan elegan. Bisa saja. Abis, kalau baca puisiku yang sekarang-sekarang ini, rasanya masih kurang clean. Kesannya amburadul. Entahlah. Sepertinya aku memasuki fase tidak puas terhadap diri sendiri. Yah, pada level tertentu itu bagus. Artinya aku butuh tantangan baru, yang bisa merangsang perkembangan diri sendiri.

Aku sadar, mungkin aku banyak berubah. Tapi, aku tidak membenci perubahan ini. Aku cuma benci sama sikapku yang cenderung lambat memproses perubahan ini. Kebanyakan bengong dan gulung-gulung di kasurnya. Padahal sebenarnya ada banyak hal yang bisa segera dilakukan, segera dicapai. Mungkin aku kurang berani. Kurang nekat. Ada rasa sebagian takut kehilangan diriku yang dulu.

But, life must goes on. Aku harus bisa memaafkan masa lalu, menikmati hari ini, dan berlari penuh optimis menuju masa depan. Ya, harus bisa.

Berhubung rasa bosanku akhirnya pergi, jadi aku mau mengakhiri positingan ini. Sampai ketemu di postingan berikutnya, entah kapan. Mungkin karena stimulasi malam ini, besok aku menulis lagi. Mungkin juga karena kebanyakan bangun siang akhirnya sifat malasku mendominasi lagi, sampai aku ketemu seseorang atau sesuatu yang mampu memotivasi diriku yang menulis lagi.

See you!

Igauan Pra-Sahur

lama banget yah ngga nulis di sini. apa itu tandanya aku udah ngga galau lagi? bukan begitu. tepatnya aku mengidap penyakit malas akut, yang bikin aku malas ngapa-ngapain, termasuk menulis. padahal aku tahu kalau menulis itu baik untuk kesehatan mentalku (baca: sebagai tempat melepas stress).

oke, jadi masalah apa lagi nih yang membawaku kembali ke sini?

banyak. ruwet. complicated. fukuzatsu. susah menguraikannya satu per satu. yang jelas aku jadi semakin aneh. iya, aneh. buktinya aku kudu rajin konsultasi ke bidang kesehatan mental di kampus setiap minggu. bahkan kalau aku tiba-tiba jadi parah, dokter bilang aku harus segera menghubungi dan datang ke ruangan kesehatan mental (selama ruangan itu buka sih).

gila? ngga tau juga sih ya. cuma kalau dibilang gila juga kok kesannya setengah-setengah. ngga maksimal gilanya. abis masih bisa ngomong, makan, tidur (walaupun makin susah tidur aja sih), belajar, main, nyepik berondong *eh* jadi kalau dibilang waras juga ngga waras-waras banget. dibilang gila kok ya kayaknya belum memenuhi syarat untuk jadi pasien RSJ. statusku menggantung.

oke, kita sampingkan dulu masalah keanehanku untuk sejenak. aku kembali ke sini cuma pingin curhat sesuatu yang ngga penting: aku mengalami gejala suka sama seseorang, dengan prosentasi patah hati lumayan besar.

iya, aku tau aku jelek. tiap kali ngaca selalu aja para jerawat nyengir bandel. jerawat-jerawat ini tidak baik bagi kesehatan mental saya, karena tiap kali ngeliat jerawat ini saya jadi sadis (baca: mecahin jerawat sampe berdarah. kalo ngga keluar darah ngga marem). tau sih, apa akibatnya mecahin jerawat sembarangan. yang ada jerawat makin parah. tau sih, dengan mengatur pola makan dan tidur (terutama tidur), kulit bisa semakin membaik dan jerawat hilang dengan sendirinya. tapi saya sendiri lagi aneh ini, meskipun maksain diri buat tidur, tetep aja mata ngga mau merem. beberapa bulan yang lalu sih masih dibolehin minum obat tidur sama dokter karena insomniaku parah, dan aku jadi cenderung sensitif begitu. tapi sekarang aku udah ngga dikasih obat tidur lagi karena setidaknya aku bisa tidur sendiri (walaupun susaaaah banget). alhasil, jerawat saya ngga ilang-ilang.

oke, kita sampingkan dulu masalah kejelekanku untuk sejenak. kembali lagi ke soal sebelumnya. jadi ceritanya saya lagi suka sama seseorang. cuma ngga tau ini beneran suka atau asal suka aja. you know, cowok di sini rata-rata baik dan sopan. tapi yaa... gimana yah. mungkin mereka baik karena aku orang asing. atau mungkin karena merasa itu semacam `kewajiban`. itu loh, honne-tatemae. makanya kadang aku ngga bisa bedain apa orang ini beneran baik dengan tulus atau cuma honne-tatemae aja. makanya perasaanku ke orang ini juga ngga jelas. pada dasarnya aku bakalan suka sama siapa aja yang baik sama aku. tapi begitu tau itu cuma basa-basi, aku langsung hilang minat. jadi itulah kenapa aku bilang perasaanku ini ngga jelas.

tapi, ya entah kenapa rasanya seneng banget begitu deket orang ini.

waktu awal ketemu, aku pikir dia orang yang susah dideketin. abis pendiem banget. kalah dah patung gajah mada depan SMA ku dulu. terus sejak aku dibolehin ikut jigeiko (dan aku harus menghadap para senpai untuk mengajari saya), aku merasa orang ini beda. di permukannya sih dia baik dan sopan, sama seperti yang lain. tapi abis jadi lawan latianku, dia selalu mengawali dengan memujiku terlebih dulu. misalnya, "teknik kendomu semakin membaik" dan sebagainya. abis itu baru deh dia kasih nasihat supaya teknikku berkembang. suaranya, cara ngomongnya, halus banget. tapi ngga kehilangan wibawa sebagai cowok dan sebagai seorang senpai. oke, dia lebih muda dari aku setaun, tapi tetep aja dia senpai dalam kendo.

tapi, ada sesuatu yang beda dari dia. kalau senpai yang lain, keliatan banget memperlakukanku sebagai kohai. ya aku sih ngga masalah. toh itu kenyataan. tapi kadang aku bingung harus gimana, soalnya ada beberapa senpai yang tiap kali jigeiko menghadapiku dengan serius, sama seperti menghadapi yang lainnya. jadi aku harus terus dan terus menyerang. tapi kebanyakan mengadapiku, yaa bukannya ngga serius sih, tapi keliatannya mereka berpikir karena teknikku masih banyak salah (ini kenyataan) maka lebih baik fokus memperbaiki teknik daripada latian duel. ya itu ngga salah sih. cuma kadang-kadang aku jadi bingung, aku harus menyerang atau fokus memperbaiki teknik nih? kalau menyerang, jujur teknik dasarku jadi ancur, soalnya aku berpikir harus terus dan terus menyerang. tapi kalau fokus memperbaiki teknik, aku terus-terusan kalah dalam duel. nah loh. itu yang bikin aku kadang-kadang ngga pingin latian sama kebanyakan senpai, karena mereka bikin bingung.

tapi, orang ini beda. dia termasuk senpai yang menghadapiku dengan serius. dia tau kalau teknikku ancur. tapi keliatannya dia menghargai keberanianku untuk terus menyerang. jadi pas latian dia benar-benar jadi lawan, seolah-olah kita setara. padahal kenyataannya teknikku ngga ada seujung kuku jarinya. setelah latian barulah dia mengajari dan kasih nasihat. dan satu lagi, tiap kali kita latian, dia selalu tertawa pas menghadapiku. bukan ketawa ngejek. bukan. beda. ketawanya itu.... kayak merasa senang karena aku berani nyerang dia. aah susah dijelasin! pokoknya tawanya itu bikin aku tenang, semangat, dan percaya diri tiap latian.

tapi waktu itu aku cuma merasa sampai di situ aja. belum ada (atau lebih tepatnya "sadar"?) perasaan suka. aku cuma merasa, kok aneh ya tiap kali sama orang ini aku selalu percaya diri. begitulah kira-kira perasaanku, sampai suatu hari....

kita dapat kesempatan untuk ngobrol di luar jam latian.

ceritanya, aku nyebar angket penelitian di klub kendo. angketnya sih pendek. sebenarnya angket itu cuma alat untuk menjaring responden wawancara. di angket itu aku minta bagi siapa aja yang bersedia untuk diwawancara lebih lanjut, mohon isi nama, kontak, dll. aku kasih deadline 1 minggu untuk mengumpulkan. kenyataannya banyak yang molor. termasuk dia. aku sih waktu itu ngga marah. soalnya dia langsung minta maaf dan janji segera mengembalikan. waktu dia kembalikan, pada kolom responden wawancara dia menyatakan menyanggupi. aku kaget. kok tumben banget, padahal kita jarang banget ngobrol selain waktu latian.

waktu wawancara, sumpah datar banget. aku sampe bingung mau ngomong apa. supaya suasana lebih cair, aku ngomong soal maskot prefektur ehime, mikyan. omong-omong soal maskot, di jepang tiap prefektur punya maskot masing-masing. misalnya kumamoto punya kumamon, ehime punya mikyan, dan lain-lain. mikyan itu sesosok makhluk berbentuk seperti jeruk (ehime terkenal sama jeruknya) tapi berkepala seperti guguk bermata kecil. di pantatnya ada tulisan "i love ehime". namanya sendiri berasal dari kata "mikan" (bahasa jepangnya jeruk), tapi diplesetin jadi mi-can (dibaca "mi-kyan"). "can" nya ini bahasa inggris, yaitu "bisa". mungkin maksudnya seperti "ehime can do it!" gitu kali yah. aku paling suka mikyan, soalnya simpel dan imutnya itu reasonable. ngga kayak beberapa maskot lain yang menurutku rada absurd. aku bahkan sampai beli gantungan kunci mikyan waktu study tour ke benteng matsuyama di ehime. nah, orang ini asalnya dari ehime, dan di profile line-nya dia pakai gambar mikyan. siapa sangka orang sependiem ini punya sisi lucu juga. jadi waktu itu aku tunjukin gantungan kunciku, sambil bilang "aku suka mikyan". terus waktu liat gantungan kunci itu dia langsung spontan ngomong "deta!" (mungkin kalo diterjemahin jadi "itu dia!") dengan nada yang beda dari biasanya. seperti excited gitu. aku jadi ikutan excited juga. akhirnya kita malah ngobrolin lain-lain kayak keluarganya, rencana setelah lulus, dan lain-lain. dia anak pertama dari empat bersaudara, laki semua! adiknya paling kecil umur 10 tahun. waktu dia cerita soal adeknya kok kayaknya lucuuuu banget. aku jadi gemes sendiri.

oh ya, sebelum wawancara aku sempet kepo di facebook. aku menemukan dua fakta mengejutkan. pertama, ternyata dia punya fb donk. orang sini jarang main facebook. kadang cuma bikin doank tapi ngga diurus. tapi dia punya dan dia ternyata lumayan suka update juga. kedua, mutual friends kita cuma satu orang, salah seorang senpainya (yang seumuran denganku. sekarang senpai itu udah lulus) dia bahkan ngga berteman dengan teman kendo seangkatannya! aku asal klik add aja, dan langsung di-approve. padahal itu tengah malem. belum tidur, kang? duuuh, rasanya pingin teriak "banzai!" waktu di-approve sama dia itu.

kalau liat status-statusnya, foto profilnya, ternyata orang ini manis dan lucu juga. ganteng sih engga. cuma manis, apalagi waktu ketawa. oh ya, waktu ngobrol di line buat janjian wawancara, dia pake emoji donk. lucu gitu. omaigod, orang ini kok lucu seeeeeeh

menurut cerita salah seorang teman cewek di kendo (yang kebetulan juga seangkatan sama orang ini), orang ini emang pendiem waktu di kendo. tapi begitu udah ngumpul sama temennya, jadi rame. duh kah jadi penasaran kan. kayak apa sih dia kalau rame. aku jadi makin kepo soal dia.

kemaren pun, waktu pertandingan kendo antar mahasiswa se-prefektur hiroshima, aku ngerasa seneng banget waktu ketemu dia. semua anggota klub mulai dari tingkat 1 sampai 3 ikut pertandingan. jadi cuma aku dan anak-anak tingkat akhir aja yang ngga tanding. anak-anak yang ngga ikut tanding jadi panitia pertandingan, sementara aku yang ngga tau apa-apa cuma seliwar-seliwer hunting foto. waktu kita ketemu, muka seriusnya berubah jadi ramah. bahkan dia keliatan senyum sekilas. dia tanya kok aku ngga ikut tanding. aku bilang kalo aku sih masih amatir, jadi ngga mungkin. terus dia bilang, "ah, masa? kayaknya ngga gitu juga deh..."

cuma digituin aja aku langsung seneng. duh ternyata aku emang bocah. bocah yang aneh dan jelek.

begitulah cerita tentang orang ini. tapi... sekali lagi aku ngga tau apa aku beneran suka sama dia apa engga. dan kalaupun suka beneran, aku takut. aku udah pernah nembak seseorang lain, terus ditolak. katanya dia cuma nganggep aku sebagai kohai di kendo (woi, aku lebih tua woi!). makanya sama orang ini pun aku ngga banyak berharap. untuk sementara ini, aku mau menikmati saat-saat bersamanya, sebelum akhirnya aku pulang nanti.

eh btw, foto-foto pertandingan yang aku upload ke fb di-like doooooonk sama dia. duh kah, gitu aja aku udah seneng.

oke, karena sekarang udah lewat imsak, maka kita akhiri igauan kita sampai di sini dulu.

23 Tahun

Tanggal 11 kemarin aku ulang tahun. Hmm, nothing special but I feel so grateful for being alive till today. Ulang tahun di Jepang, dengan penuh kedamaian. Yah, meskipun ada sedikit masalah, tapi setidaknya aku tak perlu berhadapan langsung secara fisik dengan masalah itu. Aku harus bersyukur karenanya.

Oke, umurku sekarang udah 23 tahun. Apa sih yang udah aku capai?

Sejauh ini... Kuliah di Sastra Jepang UNAIR, berhasil dapet IPK yang bagus tiap semesternya, dapet temen-temen yang asik, bangke, kampret, all things you'll miss one day. Pernah pacaran dengan orang-orang yang bener-bener ngasih aku pelajaran tentang hubungan antar manusia dan kehidupan bermasyarakat (lebay? Intinya begitulah). Dan mungkin ini pencapaian terbesarku sampai hari ini: berhasil mendapatkan beasiswa Japanese Studies Monbusho, kuliah di Hiroshima University, bertemu plus berteman dengan banyak orang dari berbagai macam belahan dunia, menikmati dinginnya musim gugur, indahnya salju, dan indahnya bunga sakura yang sedang mekar. Oh ya, ngga lupa juga, berhasil mewujudkan salah satu impianku: belajar kendo. Juga satu impian remeh: memotong rambutku ala Baba Ayako di "35-san no Koukousei". Aku cinta rambut baruku.

Oke, itu sederet daftar pencapaian yang aku raih hingga hari ini.

Pertanyaan berikutnya: apa itu aja udah cukup?

Belum. Masih belum.

Apa yang aku capai ini, baru level "main-main" saja. Kecuali tes Monbusho dan latian kendo, pencapaian lainnya aku dapat hampir tanpa bekerja sangat keras.

Makanya, aku merasa itu semua masih belum cukup.

Selain itu, ada hal lain yang membuatku merasa belum cukup. Kehidupanku masih belum teratur. Aku masih belum pinter menata segala sesuatunya. Akibatnya, aku suka terjebak dalam segala macam kesulitan yang sebenernya masih bisa dicegah. Kesulitan keuangan, misalnya. Jangankan menata keuangan, menata kamarku aja masih belum bener. Aku suka iri kalau main ke kamarnya Dida. Kamarnya rapi banget. Dan kalau aku liat segala macem postingan jalan-jalannya, aku yakin dia pasti pinter banget ngatur keuangannya. Nah, kalau dia aja bisa, kenapa aku ngga? Itu pertanyaan besar. Oke, artinya aku harus mencontoh suri tauladan Dida XD

Itu aja? Belum, masih ada lagi.

Aku.. masih kalah dengan diriku sendiri.

Aku masih suka bohong, terutama membohongi diriku sendiri. Aku masih suka kalah dengan segala macam perasaan. Aku masih suka ngeluarin alasan "karena perasaan" dalam menghadapi masalah. Akibatnya, ngga jarang aku malah terpuruk dalam hal-hal yang sebenernya ngga terlalu penting, dan itu malah menghambat tugas utamaku. Skripsi terbengkalai, aku pun juga ngga bisa fokus mengerjakan hal lainnya. Waktu dan energiku abis terbuang untuk mengurusi "perasaan".

Tiap kali aku bercermin, aku suka muak. Bukan cuma karena wajahku ngga cantik secara fisik, ekspresiku memuakkan. Selama ini aku suka salah paham, mengira karena aku ngga cantik makanya aku ngga puas. Akhirnya aku putus asa membeli berbagai macam produk kecantikan. Awalnya emang menyenangkan, memanjakan diri sendiri. Tapi lama-lama aku bosan, karena toh ngga terlalu banyak perubahan berarti. Aku emang cepet bosan sih.

Lalu, setelah aku pikir-pikir, bukan masalah cantik atau engganya. Akunya aja yang terlalu putus asa. Coba seandainya aku lebih santai dan menerima diriku apa adanya, aku juga ngga akan putus asa begini.

Kesimpulannya, aku masih kalah sama anak kecil yang ada dalam diriku ini.

Oke, berkeluh-kesah ngga akan membuat perubahan apapun. Yang ada cuma bikin keadaan makin muram aja. Jadi, aku mulai menulis apa aja yang perlu aku lakukan untuk membuat perubahan.

Pertama, gunakan waktu seefisien mungkin. Aku yakin, akar permasalahan dari semua ini adalah karena aku ngga menggunakan waktu secara efisien. Daripada menghabiskan 10-20 menit untuk dengerin lagu sambil bergalau ria di atas tempat tidur, lebih baik digunakan untuk mengerjakan apapun yang bisa aku kerjakan saat itu juga. Beresin kamar-kah, baca buku-kah, masak makanan yang bener-kah, nonton dvd sambil gerak badan-kah, apapun. APAPUN yang bisa aku kerjakan saat itu, di tempat itu.

Kedua, membiasakan membaca dan menulis. Kenapa? Karena aku yakin, satu-satu skill yang aku punya dan bisa dimanfaatkan saat ini adalah kemampuan bahasaku. Aku punya banyak kesempatan untuk mendengar dan berbicara dengan orang Jepang di sini. Tapi yang sangat kurang adalah kesempatan untuk membaca dan menulis. Aku, dengan sangat hectic-nya, membeli banyak buku. Tapi ngga ada satupun dari buku-buku itu yang bener-bener habis dibaca. Begitu juga dengan menulis. Ada banyak hal yang ingin aku tulis, tapi lebih banyak ide yang menguap percuma dibandingkan yang tertuang ke dalam tulisan. Mottainai. Bener-bener mottainai. Jadi, mulai sekarang, aku harus membiasakan membaca buku apapun, minimal 2 halaman per hari, dan menulis apapun, minimal 2 kalimat per hari. Sedikit banget? Iya sih. Tapi buat apa juga menarget banyak-banyak dari awal? Progres itu, terasa semakin nikmat kalau dimulai dari sedikit demi sedikit. Pasti akan terasa perbedaanya.

Ketiga, be easy. Ketika aku memutuskan potong rambut ala Ayako, alasanku satu: aku ingin lebih santai. Emang sih, punya rambut panjang yang indah adalah impianku sejak lama. Tapi, ngga gampang merawatnya. Sedikit-sedikit kudu diperhatiin. Jadi, aku pilih rambut acak adut ala Ayako. Tiap pagi, cukup pakai styling mousse yang super hard, acak-acak rambut sesuka moodku hari itu, beres! Sepanjang hari rambutku akan tetap keliatan acak-acakan, dan aku ngga perlu repot nyisir-nyisir setiap saat. Pikiranku sih, dengan style yang santai seperti ini, bisa membawa moodku untuk lebih santai juga. Aku ngga pingin jadi orang yang terlalu belibet dengan segala sesuatunya. Orang yang kayak gitu, gampang terluka, cenderung iri hati, dan akhirnya malah muncul dendam. Semua itu bak rantai yang membelenggu hati dan pikiran. Lama-lama kita jadi lemah sendiri karena kegalauan kita. Apa enaknya? Aku ingin jadi orang yang lebih santai, ngga usah bawa-bawa pikiran dan perasaan terlalu dalam terhadap segala sesuatunya. Yang penting sekarang adalah, mampu mengerjakan semua kewajiban dengan baik dan tenang. Dengan begitu, pasti kita pun akan lebih dan lebih kuat lagi.

Oke, itulah resolusiku di umur 23 tahun ini. Target jangka pendekku:
1. Menyelesaikan skripsi dengan baik, dapat prestasi terbaik
2. Bebas dari segala kesulitan uang
3. Pacaran sama orang yang suka (absolut ini, ngga bisa diganggu gugat)

Target jangka panjang:
Mandiri dan bebas

Sekian, pengakuan dan resolusi saya di umur 23 tahun ini. Sekarang saatnya mengerjakan hal lain lagi. Sampai jumpa di postingan berikutnya~

Nggggrandom

Sekedar posting random aja. Akhir-akhir ini ngga bisa tidur. Bahkan main Pokopang dan Line Bubble beronde-ronde ngga bisa bikin tidur. Mata ngantuk, badan capek, tapi begitu kepala nyentuh bantal malah ngga mau merem. Bahan penelitian dengan segala macam Kanji anehnya itupun juga ngga bisa mengantarku tidur. Entah ini akunya yang udah kelewat parah atau teori "mengerjakan tugas ampuh buat insomnia" udah invalid.

Emang sih aku ngerasa ngga enak badan. Kayak mau pilek tapi toh ngga jadi-jadi (alhamdulillah... Jangan sampai sakit deh). Seperti lemas dan ngga semangat. Padahal makanku banyak bin abnormal. Mungkin karena kebanyakan itu makanya jadi lemes? Bisa jadi. Tapi aku bersyukur sekarang aku bisa mengumpulkan niat untuk mengerjakan tugas dan baca bahan penelitian, tanpa mengandalkan the power of kepepet.

Apa mungkin penyebabnya masalah..... Mental?

Hmm, ya... Akhir-akhir ini emang banyak yang aku pikirkan. Papa sakit, keadaannya belum tambah baik juga. Aku bingung, ngga tau harus gimana.

Selain itu, di sini aku mengalami semacam dilema. Aku sangat bersyukur bisa kuliah di Hiroshima ini. Tempatnya bagus, fasilitas lengkap, dosen-dosennya baik, kuliahnya pun tidak terlalu gila. Aku punya banyak waktu untuk penelitian dan latihan kendo. Oh ya, sejak pertengahan Oktober kemarin aku ikut klub Kendo. Cuma aku satu-satunya yang ngga berpengalaman di sini. Tapi untungnya senpai-senpainya ramah. Mereka bergantian mengajari aku teknik dasar Kendo. Serba cepat, tapi karena kebaikan mereka alhamdulillah aku berangsur-angsur terbiasa. Dan untungnya lagi, aku bukan satu-satunya orang asing di situ. Ada satu orang asing lagi, dari Korea Selatan. Namanya Shin Tae Hun. Waktu kenalan pertama kali aku baru nyadar kalau kita sama-sama level 4. Cuma Shin lebih banyak ambil kelas level 5, jadi kita jarang ketemu. Ketemu paling cuma di kelas hari Rabu dan Kamis.

Beda sama aku, Shin udah pernah latian kendo satu tahun di negaranya. Jadi pada akhirnya cuma akulah satu-satunya yang ngga berpengalaman (。-_-。)

Oke, cerita soal Kendonya kapan-kapan lagi. Balik lagi ke masalah apa yang akhir-akhir ini bikin aku kepikiran.

Seperti yang aku bilang tadi, bisa kuliah di Hiroshima itu bener-bener suatu keberuntungan. Tapi... Aku ngerasa ada yang kurang: persahabatan.

Kalau mau bilang secara jujur, hubungan antar teman sekelas terasa dingin. Gapnya bener-bener kerasa. Di sini mayoritas orang Cina dan Korea. Mereka berkelompok dengan teman-teman senegaranya sendiri. Orang Indonesia juga banyak, tapi kalau aku amati masih mau membaur dengan orang asing lainnya. Orang-orang Eropa sebenernya ramah, tapi ngga gampang masuk grup mereka. Entah kenapa. Orang Amerika pembawaannya santai dan ceria. Salah satu temen Amerika kita, Albert, selalu jadi pemersatu di antara kita semua.

Tapi.... Tetep aja, gapnya masih ada.

Jujur aku rada shock. Aku pikir keadaannya ngga bakal beda jauh sama tempatku dulu di UNAIR, kalau soal pertemanan. Aku pikir kita semua bisa akrab satu sama lain tanpa memandang perbedaan....

Tapi ternyata hal itu ngga gampang ya. Syukurlah aku dikasih liat lebih cepat. Dan dari situ aku bisa berpikir jernih kalau perbedaan semacam ini adalah biasa.

Nah, satu hal yang ngga biasa buatku adalah.... Untuk pertama kalinya aku bener-bener merasa harus waspada dalam berteman.

Seperti yang aku bilang tadi, di sini ada banyak orang Indonesia. Yang sebaya dan satu program sama aku aja ada tiga orang termasuk aku. Awalnya kita bertiga main sama-sama, makan bareng, dan sebagainya...

Sampai suatu hari aku ngerasa ada yang berbeda.

Salah satu dari kita, awalnya suka banget senyum dan ketawa lepas. Tapi sejak menginjakkan kaki di Jepang, entah kenapa dia berubah 180 derajat. Dia jadi jarang senyum, kalau ketawa juga cuma "hmph". Udah gitu kalau ketemu di jalan ngga nyapa lagi.

Yang satunya lagi, nggg, entah gimana jelasinnya. Yang jelas aku jadi ragu harus percaya sama siapa.

Sebulan pertama aku cukup stres dengan keadaan ini. Ngga ada orang yang bisa aku andalin. Ngga ada tempat buat berbagi cerita selepas-lepasnya. Ya aku masih bisa kontak Nene atau Mbak Mega via LINE. Tapi kadang ada perasaan kalau aku berlebihan.

Aku jadi inget, dulu waktu makan bareng Shin, dia tanya, "Kamu punya teman dekat kan?"

Aku cuma bisa menggelengkan kepala.

Yaa mungkin aku su'udzon. Tapi aku berusaha jujur, aku ngga bisa percaya dengan mudah pada orang lain di saat ini, di tempat ini, karena aku belum tau apa-apa. Aku udah merasa kalau diem-diem aku "diinjak", meskipun ngga parah. Ya aku sih ngga akan balas dendam atau gimana. Aku cuma bersikap "cukup tau aja" dan sebisa mungkin ngga banyak berinteraksi dengan orang-orang yang berusaha menginjakku, atau ngga menaruh rasa peduli padaku.

But, afterall, I am fine.

Emang bener ada orang-orang yang ngga ramah sama aku. Tapi toh ada lebih banyak lagi orang yang ramah padaku, dengan baiknya menyambutku, menerimaku, membantuku, mengajariku... Buang-buang waktu dan energi cuma untuk mengurusi hal negatif bener-bener rugi. Hal itu tidak membantuku menyelesaikan penelitianku dan juga tidak membantuku mencapai hal-hal yang aku inginkan.

Ngomong-ngomong, sejak menginjakkan kaki di Negeri Momiji ini, aku jadi pingin belajar banyak hal. Pergi ke banyak tempat. Mengeksplorasi diri sepuas-puasnya.

Tapi, kalau inget keadaan Papa, aku jadi merasa agak......

Yah, Allah juga yang memberi jalan, kan...

Setidaknya, aku pingin menabung dulu. Menabung impian untuk diwujudkan
 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates