ESQ: Sesi Yang Memberi Pencerahan

Hari kedua pondok ramadhan berjalan alot. Ada rapat guru-guru agama di sekolahku. Dan itu menyebabkan sesi pertama jadi terlambat. Aku tidak tahu siapa yang mengusulkan rapat itu, tapi aku ingin mengutukinya karena dia telah begitu ceroboh mengatur jadwal.

Guru agama kelas XII, Pak Hasyim, memberikan materi tentang zakat. Aku yang sudah terlanjur lelah, tak bersemangat mencatat materi itu. Apalagi materi itu sudah pernah diberikan sebelumnya di pelajaran agama kelas... Aku lupa kelas berapa ^^' Tapi yang jelas aku bosan dan mengeluh kenapa hari itu tak menyenangkan seperti hari sebelumnya.

Kami masuk ke post terakhir, yaitu di perpustakaan. Materinya ESQ alias Emotional Spiritual Quotience. Aku sempat bingung. Dalam persepsiku, ESQ tidak ada hubungannya dengan pondok ramadhan. Kalau spirituali sih mungkin. Tapi bagiku agak aneh. Apalagi pemberi materi adalah Pak Purwoko, guru TIK kelas X.

Kami disuguhkan video tentang IQ dan EQ di CD yang pertama. Penyajinya mengatakan bahwa iQ yang selama ini diagung-agungkan oleh manusia, ternyata tak bayak berperan dalam kesuksesan manusia. Senada dengan quotation Albert Einstein, bahwa kesuksesan adalah 1% bakat dan 99% usaha, maka inti dari sajian itu adalah intelegensia berperan tak lebih dari 6% dalam kesuksesan manusia. Aku setuju. Jadi, agar sukses, IQ dan EQ harus seimbang. Sempat terpikir olehku bahwa EQ adalah kemampuan seseorang untuk mempersuasi orang lain demi kepentingannya sendiri. Dan rupanya si penyaji membaca pikiranku. Tentu akan berbahaya jika ada pemimpin yang pintar dan pandai merayu. Bisa-bisa semua orang diperdaya demi kepentingan pribadinya. Contoh yang ada adalah Hitler, Mussolini, dan sebagainya. Maka, penyaji menutup sesi pertama dengan kesimpulan: "IQ dan EQ saja tidak cukup demi kesuksesan manusia".

Sesi selanjutnya dibuka dengan contoh-contoh manusia kaya raya yang putus asa dan mengakhiri hidupnya denga cara yang arogan dan tidak diridhoi Allah : bunuh diri. Apa yang menyebabkan rang-orang ini memutuskan untuk bunuh diri? begitu inti pertanyaannya. Jawabannya jelas: mereka tidak bahagia, bagai ayam mati di atas lumbung padi. Maka dari itu manusia mencoba mencari makna, untuk apa mereka hidup di dunia ini. Lalu beralih pada orang-orang kaya yang hidup sederhana dan bahagia, seperti pendiri Honda Motor, Kyota Ceramics, dan sebagainya. Mereka hidup sederhana, dan tentu saja sukses! Disebutkan bahwa mereka memiliki ciri-ciri yang sama: adil, jujur, loyal, memberi semangat, dan penuh kasih. Nah, yang jadi persoalan dalam hidup manusia adalah pencarian sifat-sifat seperti itu. Siapapun menginginkan kedamaian, kebenaran, keadilan, dan kasih sayang.

Tapi diluruskan oleh penyaji, bahwa manusia mencari sifat damai, bukan kedamaian. Manusia mencari sifat adil, bukan keadilan. Lantas, dari manakah semua sifat itu berasal? Ayat-ayat Al Iqra mengantar peserta untuk mengingat kembali pada Sang Pemilik Sifat-Sifat Indah tersebut. Sang Pencipta yang meniupkan ruh ke tubuh manusia. Dia-lah Allah Sang Pemilik Alam Semesta. Jadi, sebenarnya manusia mencari Allah, mencari Tuhannya.

Aku tidak ingat apa yang menjadi mata rantai bahasan tadi dengan bahasan selanjutnya. Tiba-tiba saja penyaji beralih pada ibu. Pada orang tua yang membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Dituturkan bagaimana seorang ibu denga penuh pengorbanan melahirkan anaknya, denga penuh kesabaran dan ketelatenan membesarkan anaknya. Namun ironis sungguh, sang anak membalasnya dengan makian dan perlakuan yang semestinya tak perlu diperolaeh orang tua semulia ibu. Di sinilah semua peserta menangis. Ingat pada orang tua mereka, pada kelakuan yang mereka hadiahkan pada orang tua mereka.

Aku tak mengerti apa yang harus kutangisi. Aku tak bisa larut dalam kedeihan yang mengharu biru itu. Betapa kelam dan keras hatiku hingga tak bisa terenyuh dalam suasana itu. Tapi pada akhirnya aku menangis, ingat pada orang tuaku yang tak kunjung mendapatkan sinar sakinah dalam bahtera rumah tangganya. Mereka terapung-apung di lautan yang luas, tak tentu arah. Dan kami tak dapat berbuat apa-apa. Aku menangis. Aku merindukan saat-saat kami dapat tersenyum bahagia, hidup rukun dan tenang dalam rumah yang hangat....

Sesi berakhir. Pak Purwoko menutupnya dengan alunan lagu Melly Goeslaw. Aku lupa judulnya. tapi, aku kenal lirik ini: kata mereka.. diriku selalu dimanja.. kata mereka.. diriku selalu ditimang... Alunan nada melankolis itu mengingatkan aku pada kejadian enam tahun yang lalu...

Semua pulang denga wajah bekas menangis. Bahkan ada yang tak kuat menahan tangisnya dan tak bernajak dari tempat itu. Betapa menakjubkan efek sesi itu. Aku merasa kerdil. Kerdil sekali...

Akankah aku dapat membalas jasamu, Ibu??

"Apa-apaan ini? Kok saya tidak Diajak??"

Tanggal 22 September kemarin kelas XII mengikuti pondok ramadhan. Hari itu kelasku, kelas IPA 4 dan 5 masuk ke post yang pertama. Aku lupa itu post apa, gurunya adalah Pak Sundusin, guru agamaku waktu kelas X. Beliau dulu juga wali kelas X-4, tetangga kelasku. Aku ingat anak-anak X-4 memajang foto pak Sundusin. Pak Sundusin yang bertubuh kurus itu (kalau ngga mau dibilang kerempeng *astagfirullah..*) berpose dengan gagahnya. Aku geli sendiri mengingat hal itu. Jadilah aku dan Desy ngalor-ngidul membicarakan hal-hal yang tidak penting dan tidak ada syafaatnya. Termasuk bernostagila tentang foto Pak Sundusin yang gagah itu.

Betapa malangnya guru agama kami itu. Mengapa? Karena 90% peserta di post itu tidak memperhatikan beliau. Oh, sungguh nista murid-muridmu, Pak Guru!

Post kedua: di musholla Haqqul Ilmi, musholla milik sekolah kami. Pemberi materi adalah Pak Saiful, guru agamaku di kelas XI. Beliau terkenal karena lucu dan gokil! Tetapi dengan tajam dan pedas menyindir kami yang hampir semua pernah melakukan maksiat. Ya, termasuk aku. Apalagi bagi anak-anak perempuan yang tidak memakai jilbab, siap-siap saja tersenyum getir ketika menemui beliau di kelas XI.

Aku juga lupa judul materi yang diberikan. tapi aku ingat Pak Saiful membacakan hadist Qudsi yang berisi larangan-larangan. Larangan itu begitu menohok hatiku. Betapa banyak yang telah aku langgar dan aku tak berusaha untuk menghindarinya. Munafik bukan? Aku sampai malu kalau aku tengah membawa nama Islam dalam jati diriku, bahkan untuk seumur hidup! Aku berharap aku bisa menjadi seorang muslimah yang kaffah sebelum aku dipanggilNya.

Pak Saiful sempat menyinggung berita di JTV yang menyebutkan ada seorang cewe yang tertangkap basah telah berbuat zina. Cewe itu pamit pada kedua orang tuanya bahwa dia pergi mengikuti pondok ramadhan di sekolahnya. Tapi ternyata dia berbuat "sesuatu". Dan bagaimana dia ketahuan, sungguh memalukan dan tidak profesional. Pakaian dalamnya tercecer di tengah jalan! Guruku Pak Saiful tanpa basa-basi menceritakannnya dengan eksplisit. "Apa-apaan itu?!" kata beliau. Saat itu, aku dan pastinya teman-temanku juga berpikir bahwa Pak Saiful sangat marah dan gemas atas kejadian itu. Tetapi pikiran kami meleset. Beliau mengulangi kalimat terakhirnya, "Apa-apaan itu? (berbuat zina) Kok saya tidak diajak???" Gubrakk!! Aku tak menyangka Pak Saiful berkata seperti itu. Tapi aku sudah hafal tabiat beliau. Beliau berkata seperti itu pasti ingin menyindir secara halus dan tentu saja GOKIL!! Hah... Aku sampai berniat mengundurkan diri dari nominasi "Anggota JC Terjayus" di Jayus Community Indonesia karena aku mengakui aku kalah jayus dari beliau!

Itulah  hari pertama di pondok ramadhanku. Tidak begitu garing dan menyenangkan. Aku sampai ingin mengulang sesi di post itu lagi.

Buka Bersama Kelas XII Bahasa 2008

Fine.. rabu tanggal 17 Sepetember kemarin aku dan teman-teman sekelas mengadakan buka bersama. Dan kebetulan tahun ini diadakan di rumah teman sebangkuku: Desy. Aku, Mia, dan Anggun tentu saja ikut beres-beres di rumahnya, dengan senang hati dan tanpa pamrih. Hehehehehe... Aku senang sekali karena adik tiri Desy, Ima, pulang ke rumah Desy. Ima dan orang tua Desy tinggal di Pacet, sedangkan Desy lebih betah tinggal di kota bersama neneknya yang baik hati. Well, salah satu alasan kenapa aku senang Ima ada di sana, karena Ima itu lucu! Gokil!!! Anak itu memang tergolong "BoLang" alias "Bocah Petualang". Dia senang pergi kelayapan ke mana-mana tanpa menghiraukan larangan apalagi kemarahan orang tuanya. Jangan sangka dia takut dimarahi. Aku kagum pada Ima, jauh berbeda dengan diriku yang tergolong "putri pingitan". Daya jangkauku hanya warnet. Hehe...

Setelah beres dan mengangkat barang-barang yang cukup berat, aku dan teman-temanku beristirahat. Masih satu jam lagi sebelum waktu yang ditentukan untuk berkumpul. Teman-teman yang lain memang datang jam lima. Dan kami selesai beres-beres jam empat sore. Masih banyak waktu. Aku dan teman-temanku mengobrol. Anggun sempat protes padaku karena aku ingkar janji. Aku sudah berjanji memakai kerudung untuk acara ini, jadi Anggun pun ikut-ikutan memakai kerudung. Tapi aku belum memakai kerudung waktu dia datang. Jadi dia sewot. Akhirnya aku memakai kerudung hitam (oh, melancholia...) yang aku bawa dari rumah. Ima kaget. Spontan dia bilang, "Bu Kaji-nya bercabang!" (artinya: "Bu Hajinya bertambah") Aku hanya mesam-mesem saja seperti orang tak punya dosa. 

Entah mengapa hari itu aku begitu menginginkan coca-cola. Akhirnya, jam lima aku membeli coca-cola di warung sebelah rumah Desy. Aku taruh botol itu di kulkas Desy. Teman-teman dari "TV LCD" alias Twelve Language Comunity D'Cholic mulai berdatangan. Mereka mebentuk kelompok-kelompok kecil dan mengeluarkan "kitab" mereka. Ya, langsung mereka sibuk ber-sms ria. Mia yang terkenal dengan julukan Bu Kaji menyindir mereka, "Semua pada bawa 'Al-Qur'an', tapi kok ga ada yang tadarus?" Aku lagi-lagi hanya mesam-mesem seperti orang tak punya dosa, walaupun sadar aku termasuk orang yang disindirnya karena bermain hp. Sementara Anggun yang kalem tolah-toleh karena masih lola alias loading lama, tidak mengerti maksud Bu Kaji.

Beberapa menit menjelang buka puasa, guru Mandarin kami, Didik-laoshi (Laoshi kira-kira sama artinya seperti sensei dalam bahasa Jepang) mengirim sms kepada Mia: "Laoshi sudah ada di depan Sanrio, cepetan jemput Laoshi. Laoshi tak tahu rumahnya Desy." Aku dan Devi semangat bangkit demi menunjukkan bakti seorang murid kepada gurunya. Kami mencari Laoshi di depan Sanrio. Tapi masalahnya, aku agak rabun (aku mengalami penuaan dini: mata rabun, ingatan lemah, pendengaran kurang) terutama pada sore hari. Aku meraba-raba Devi dan bertanya, "Mana Laoshi?" Devi hanya menjawab "Embuh". Kami juga bertanya pada David yang bertengger di atas sepeda motornya di depan rumah nenek Desy. Tapi Makhluk Tuhan Yang Paling Tidak Pernah Panik Bahkan Mau Ulangan Sekalipun itu malah memberikan jawaban yang sama dengan Devi, khas orang-orang yang mengaktifkan hp demi MXit pas jam pelajaran.

Tiba-tiba datanglah seseorang dengan sepeda motor Vega, kasual dan santai, menghampiri kami bertiga. Beliaulah Didik-laoshi kami. Aku menunjukkan jalan ke rumah Desy, tempat anak-anak TV LCD berkumpul. Laoshi menuju rumah Desy. Tetapi saat aku melihat kakinya, aku sempat shock. Sandal jepit Sky Way hijau! Betapa kasualnya guru kami itu....

Buka bersama pun berlangsung menyenangkan. Seolah "kelompok-kelompok kecil" itu melebur menjadi satu keluarga, yaitu keluarga TV LCD. Aku sangat senang hari itu. Suasananya mencairkan persepsiku tentang Ramadhan, menutup lembaran memori tentang Ramadhan tahun-tahun lalu. Aku pun bahagia karena kahirnya bisa berbuka dengan coca-cola yang kuidam-idamkan sejak satu jam yang lalu. Langsung kuhabiskan sebotol coca-cola itu, tanpa preambule es teh, air putih atau semacamnya. Tapi inilah yang menyebabkan aku K.O. Aku salah strategi. Seharusnya aku tidak langsung minum coca-cola dulu.

Seusai berbuka dengan takjil secukupnya, kami melaksanakan sholat Maghrib. Laoshi yang terundang sebagai satu-satunya guru lelaki dalam acara kami, menolak menjadi imam. Alasan sederhana: tidak bisa mengimami. Sungguh bersahaja guru kami ini... Akhirnya sebagian besar anak-anak memilih berjamaah ke musholla dekat rumah Desy. Hanya beberapa orang yang sholat di rumah itu, termasuk wali kelas kami Bu Shofiyah dan guru bahasa Jerman kami Frau Soegiany.

Anak-anak TV LCD sudah sepakat dengan slogan "M3" a.k.a "Mari Mangan Mulih" (arti: Habis Makan Pulang). Apalagi Laoshi kami memprakarsai slogan itu. Hanya aku dan teman-teman yang tadi ikut beres-beres yang masih terdampar di rumah itu. Ditambah beberapa teman yang masih kekenyangan sehingga tidak kuat berjalan. Tadinya aku dan teman-temanku mau kerja bakti mebersihkan rumah itu beserta piring-piring kotornya. Tapi entah, aku dan teman-teman dilanda penyakit gila nomor kesekian : malas. Akhirnya kami hanya membereskan piring-piing kotor itu ke dapur. Benar-benar hebat wabah penyakit malas itu.

Itulah sekelumit cerita panjang mengenai buka bersama kelasku. Semoga bermanfaat.

EdSudRahLo?????

Melancholia

Haa.. akhirnya aku bisa juga membuat puisi lagi. Setelah sekian lama otakku blank. Baiklah.. Puisiku ini agak aneh. Cenderung jayus (?) Yak, saudara-saudara, inilah puisiku:

Adakah alasan untuk membenci diri sendiri?

Ada, yaitu saat kita lupa nama sendiri.

Ketika bercermin

Ia melihat,

"Ada salju!"

lalu ia menggigil

"Siapa aku?"

"Apakah aku nyata?"

Pantulannya tersenyum. Sinis. Mengejek. Mengerikan.

Gemerutuk giginya memainkan simfoni Moonlight

Cemas. Gelisah. Resah. Gundah. Gulana.

Takut. Takut. Takut. Takut. Takut.

"Aku benci diriku!"

Pantulannya tertawa

"Apa kau lupa? Namamu Melanie!"

Melanie. Melan. Hitam.

Hitam. Gelap. Sepi. Mati.

Saat itulah kau boleh membenci dirimu.

Aneh bukan?? Ya, aku hanya mempermainkan kata-kata untuk mewakili perasanku. Aku muak pada diriku sendiri. Mengapa? Aku tak bisa membuat cerpen yang bagus. Benar-benar memuakkan. Bahkan ketika aku membuat draftnya saja, aku hampir muntah. Ya, aku payah! Padahal aku bertekad untuk mengikuti sebuah lomba mengarang cerpen remaja. Aku sudah mempersiapkan dari setahun yang lalu. Tapi entah mengapa, sejak kekalahanku di lomba LPA jatim itu, aku jadi minder. Kalah sebelum bertanding. Mati layu sebelum berkembang. Payah bukan?

Lomba itu ditutup tanggal 10 Oktober besok. Bagiku itu bukan waktu yang panjang. Sungguh singkat untuk memikirkan sebuah ide! Payahnya aku...

Aku mulai menyadari sesuatu: aku tidak berbakat untuk menulis cerpen. Lalu, apakah aku berbakat menulis puisi??? Oh, entahlah... Aku harap aku bisa menjadi sesuatu yang berguna.

Aku Jadi Marni!!!

Ah, aku lupa ngepost ini waktu online terakhir. Tanggal 4 September kemarin, Aku dan kelompokku bermain drama untuk tugas Antropologi. Judulnya adalah "Bule Gadungan". Tidak seperti kelompok lain yang memainkan drama dongeng tradisional, kami menyajikan drama yang sama sekali tidak menceritakan takhayul. Cerita kami berdasarkan realita. Inti dari cerita itu adalah seorang pria biasa (keturunan Jawa yang medhok) ingin mempersunting Sri Ajeng, kembang desa yang agak angkuh. Ayah Sri Ajeng, Pak Wiryo, ingin punya menantu orang bule. Jadi, si pemuda tak punya kesempatan untuk mempersunting Sri Ajeng.

Inilah urutan pemainnya:

Parno (tukang jamu, tokoh utama): Mitra Mangisi Agung Sukardi

Sri Ajeng (kembang desa yang disukai parno): Citra Anggun

Pak Wiryo (ayah Sri Ajeng) :David Ariyanto

Bu Wiryo (ibu Sri Ajeng): Marga Buwana Dewayanti

Marni (tukang jamu, teman parno) : aku (!)

Juleha (tukang salon, teman Marni): Desy Puspitasari

Siti (asisten Juleha) : Nur Islamiyah

Drama ini sebenarnya kocak. Mulai dari kostum, dandanan, dan bahasa yang dipakai. Benar-benar tidak karuan!!! Apalagi muncul ide gila untuk membuat wig dari tali rafia untuk Parno yang nantinya menyamar jadi bule itu. Teman-temanku berperan dengan sangat baik. Terutama Mitra. Aku bersyukur memilihkan peran parno untuknya, secara Parno itu culun dan medhok, Mitra memang pas untuk peran itu (mendekati sifat aslinya sih.. hehehhehe...)

Aku sebenarnya agak pesimis waktu memainkan drama. Walaupun ada naskah, tetapi teman-temanku lebih banyak berimprovisasi sehingga susah untuk menentukan dan mencocokkan dialog antar pemain. Tapi akhirnya aku sadar bahwa yang harus aku lakukan adalah menyesuaikan dengan lawan bicaraku. Jadi aku harus pandai berimprovisasi juga.

Drama pun selesai. Penonton bertepuk tangan. Ada yang berkomentar bahwa drama kami lucu sekali. Aku agak terhibur dengan komentar itu. Tapi yang paling tidak adil adalahe ketika Bu Banowati, guru Antropologi kami, hanya memberikan nilai 96 untuk kelompok kami. Penyebabnya adalah karena kami tak bisa memenuhi target 30 menit untuk durasi lakon drama itu. Kami hanya menggunakan waktu 28 menit. Aku agak kecewa. Menurutku tidak adil jika kita menilai drama karena kita tak memenuhi target durasi. Kelompok lain juga tak ada yang bisa mencapai target itu. Kebanyakan kelompok hanya mampu mengisi sepertiga waktu itu. Malah ada yang melampaui target. Jadi tak satupun kelompok di kelas kami yang mampu mencapai nilai 100.

Tapi yang sudah berlalu biarlah berlalu. Aku puas dengan hasil kerja kami yang lumayan. Apalagi ternyata teman-temanku bisa diandalkan. Dan kini, julukan Marni tetap melekat pada diriku!!!!

Ramadhan is Coming...

Bulan Ramadhan telah tiba. Kita diwajibkan untuk senang menyambutnya. Aku pun seharusnya merasa senang, karena di bulan yang indah ini limpahan rahmat-Nya begitu banyak. dan semua umat muslim tentu berlomba-lomba untuk mendapatkannya, bukan? Alangkah indah jika setiap orang bersaing dengan sehat. Benar-benar sebuah kompetisi yang indah.

Sewaktu aku masih kecil, aku sangat menantikan Ramadhan. Aku rindu pada saat-saat seperti itu. Aku semangat jika pergi ke masjid untuk sholat tarawih bersama teman-teman sebayaku. Saat ceramah tarawih, kami dengan bandelnya turun dari lanatai dua masjid dan membeli jajanan di luar masjid. Sungguh kenangan yang tak bisa kulupakan. Kenangan yang menyesakkan. Mengapa? Karena aku takkan pernah kembali ke masa itu.

Sejak aku pindah ke Mojokerto ini, Ramadhan seolah kehilangan kecantikkannya. Enam tahun aku di tempat ini, enam kali Ramadhan yang kujumpai tak bisa seindah yang dulu. Aku trauma. Sungguh dilematis. Aku sebagai umat muslim seharusnya menyambut Ramadhan dengan penuh suka cita. Tetapi di sisi lain, aku takut... Takut akan Ramadhan.

Satu tahun yang lalu, ibuku pergi dari rumah. Bentrok dengan ayahku. Memang dari aku kecil, ayah ibuku tak pernah akur. Keharmonisan adalah langka dalam kehidupan kami. Aku benar-benar kesepian. Aku dekat dengan ibuku, dan ketika harus kehilangan, aku mersa hampa. Jatuh. Terempas. Karena ibuku tidak ada, ayahkulah yang memasak. Ayahku tidak terlalu pandai memasak, tapi aku menghargai masakan beliau. Aku tak bisa bersantai seperti dulu, karena harus bangun lebih dulu dari biasanya dan membantu ayahku memasak.

Ibuku acap menemuiku di sekolah, bersama lelaki asing. Tentu tanpa sepengetahuan ayahku. Kalau ayahku tahu, aku akan dimarahi. Ayahku sudah mengharamkan ibuku ikut campur dalam urusan sekolah dan tidak ingin aku bertemu ibuku dengan cara yang seperti itu. Aku bingung. Dilema. Aku menyayangi ibuku. tapi aku pun menghormati ayahku. Maka kuputuskan untuk diam. Jika ibuku menemuiku, aku merasa was-was. takut ayahku marah. Aku sering ketakutan, karena aku pengecut. Tapi tak pernah merasakan aku merasakan ketakutan seperti saat itu.

Aku tak punya siapa-siapa untuk berbagi. Waktu itu aku belum punya pacar. Aku pun merasa tak bisa bercerita pada teman-temanku, ya.. karena memang itulah sifatku. Selain itu, temanku pasti akan menganggap ayahku jahat. Padahal tidak seperti itu. Ayahku baik, menyayangi kedua anaknya. Setiap orang tua pasti memiliki cara sendiri untuk mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anaknya. Dan ayahku adalah orang yang tegas. Tak banyak orang mengerti. Dengan cara yang keras itulah ayahku berusaha melindungi aku dan adikku. Beliau tak ingin kami terjerumus dlam hal yang dialami ibuku... Kata ayahku, ibuku adalah...... Ah, sudahlah.. aku tak sanggup mengutarakan kata-kata kasar yang kerap diucapkan ayahku pada ibuku itu... Aku tak sanggup. Sampai sekarang aku masih belum percaya bahwa ibuku adalah... adalah wanita yang disebutkan ayahku itu. Ibuku tak terlihat seperti itu. Pun seandainya benar, aku akan memaafkannya. Mungkin itu adalah satu dari sekian banyak dosa seorang manusia seperti ibuku....

Lebaran tiba, ayah-ibuku bersatu nlagi. Berjanji akan memulai lemabaran hidup baru. Aku terharu. Adikku juga demikian padahal dia yang biasanya terliaht cuek dan tegar. Aku menganggap lebaran tahun itu adalah hari kemenangan untuk kami....

Tapi nyatanya tidak. Baru beberapa bulan saja, ayah-ibuku bertengkar lagi. Seperti biasa. Seolah itu adalah romantisme tersendiri bagi mereka. Pernah mereka akan bercerai. Tapi entah sebabnya tak jadi. Aku pasrah. Tak bisa mengerti misteriusnya rumah tangga kami ini...

Ketika ramadhan tiba tahun ini, aku hanya tercenung. Aku memutuskan untuk tetap menyambutnya dengan gembira, walaupun sedikit terpaksa. Aku berharap tahun ini mendapat ampunan-Nya atas dosa-dosa kami.

Aku pun berharap dapar bertemu Ramadhan di tahun-tahun berikutnya. Aku yakin kami semua akan hidup lebih baik, entah kapan, entah pada masa yang mana. Aku yakin kami akan bahagia, suatu saat... Keyakinan itulah yang membuatku kuat. Karena kekuatanku hanyalah mimpiku.. Suatu saat, aku akan tersenyum bersama keluargaku.. Itu pasti...

Oh ya.. Aku begitu rindu pada kampung halamanku. Aku berharap aku masih bsia melihatnya sebelum aku mati...

 

Design in CSS by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine
Blogger Template created by Deluxe Templates